Hal yang sama terjadi di pesantren-pesantren. Santri-santri diharuskan membaca dan menghapalkan ratusan kitab ulama klasik. Namun mereka tidak diperbolehkan bertanya, mendebat, dan berpendapat. Sistem pendidikan di Ponpes mengharuskan mereka untuk tidak berdebat dengan ustadz.
Padahal yang mereka perdebatkan adalah pemikiran ulama masa lampau yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Santri mempunyai ewuh-pakewuh untuk tidak melawan ustadz apalagi kyai. Diskusi atau munazharah di pesantren sering dilakukan. Namun budaya berpikir kritis dan alternatif belum tampak.
Menurut almarhum Nurcholish Madjid dalam salah-satu bukunya menulis bahwa kreativitas keilmuan  di dunia Islam mandek. Yang ada adalah tradisi meng-hafaza atau menjaga hapalan. Tidak ada keberanian bagi para ulama dan santri untuk mengkritik ulama masa lampau walau situasinya berbeda.
Sarjana-sarjana agama amat kuat hapalannya ketimbang daya analisisnya. Mereka tidak dididik dalam pemecahan masalah (problem solving). Sebenarnya hal ini juga terjadi pada lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang amat lemah dalam logika dan analisisnya.
Hal ini seharusnya dapat ditangani lebih jauh. Budaya menghapal hendaknya diganti dengan pemahaman bacaan. Kognisi beralih kepada literasi. Siswa-siswi harus diajar untuk bertindak, berperilaku, dan beretika. Dan ini tidak bisa digapai dengan menghapal. Guru-guru dan tenaga pendidikan harus memberi contoh kepada anak murid.
Upaya Mendikbud untuk mengganti UN dengan assessment berbasis kompetensi patut dihargai. Namun hal ini harus diikuti dengan perbaikan metode belajar. Menghapal kini sudah tidak zamannya lagi. Â Siswa harus diajari dengan pelajaran yang mengasah otak. Khususnya pemecahan masalah. Dengan demikian, siswa tidak gagap lagi ketika berhadapan dengan kenyataan di luar sekolah. Wallahu a'lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H