Demokrasi kita seolah berjalan tanpa literasi. Demokrasi Indonesia berangkat dari slogan-slogan kosong. Demokrasi Indonesia sepertinya akan terus diwarnai dengan berbagai konflik dan kekerasan. Demokrasi kita sepertinya mandek di tempat.
Sebenarnya literasi tidak bisa dipisahkan dari demokrasi. Demokrasi (liberal) hanya akan berkembang dengan baik jika warga negara tersebut literat atau memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis dan dapat mengakses informasi. Literasi merupakan ciri masyarakat demokratis yang beradab.
Literasi secara sederhana dapat kita definisikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih itu literasi berkaitan dengan kemampuan seseorang atau masyarakat untuk mencari, mengakses, mengolah, menyaring, dan menilai informasi. Literasi juga berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi sebuah masyarakat.
Individu dengan kecakapan literasi yang tinggi biasanya mempunyai pendapatan yang lebih tinggi daripada mereka yang memiliki kemampuan literasi rendah. Literasi berkaitan dengan kecakapan seseorang untuk memilliki keahlian (skill) yang lebih tinggi. Literasi jelas merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri.
Di era ekonomi berbasis pengetahuan  (knowledge-based economy) seperti saat ini, kemampuan mengakses dan menilai informasi jelas sangat dibutuhkan terutama di bidang keuangan, bisnis, dan perdagangan. Informasi adalah darahnya masyarakat informasi. Mereka yang mampu mengolah informasi mempunyai pendapatan yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak.
Oleh karena itu, pendidikan menjadi suatu yang penting di era ekonomi berbasis pengetahuan ini. Pendidikan memberi kemampuan berpikir kritis. Mampu menilai dan menyaring informasi. Sayangnya, masyarakat Indonesia yang sebagian besar berpendidikan rendah tidak mampu mengkritisi informasi yang beredar di media sosial.
Pemilu 2019 adalah contoh di mana informasi palsu berupa hoaks dan fitnah beredar jauh di tengah-tengah masyarakat. Sebagian warga termakan dengan hoaks tersebut yang menimbulkan kesenangan bagi pembuat hoaks tersebut. Pemerintah dengan UU ITE menindak tegas para pembuat hoaks tersebut.
Dan hal ini berkaitan dengan minat baca. Masyarakat yang tak terbiasa membaca akan terpengaruh hoaks dan fitnah tersebut. Pendidikan seharusnya mengajarkan kita dan masyarakat untuk membaca buku. Hanya mereka yang rajin membaca buku dapat membedakan mana informasi yang benar dan yang salah.
Apa hubungannya buku dan literasi atau internet? Bukankah buku kini kehilangan pamornya. Masyarakat tidak lagi menyukai barang bacaan yang dicetak. Mereka lebih suka membaca di layar android atau laptop. Justru di sinilah bedanya.
Buku merupakan sumber informasi. Buku memuat informasi yang lebih komprehensif. Buku tidak melelahkan mata. Para ahli telah mencoba membandingkan kebiasaan membaca buku dengan kebiasaan membaca di layar. Hasilnya, mereka yang membaca buku menyerap pengetahuan lebih baik daripada yang membaca di kelir.
Membaca buku adalah kebiasaan yang baik dan positif. Ketika kita membaca buku, pikiran kita akan terfokus pada apa yang kita baca. Hal ini membuat pikiran kita lebih fokus menyerap pengetahuan. Menurut almarhum Hernowo Hasim, membaca buku bukan pekerjaan ringan. Membaca buku membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk menggali makna di balik teks.