Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Intelektual Indonesia dan Perang Neokorteks

27 Oktober 2019   10:15 Diperbarui: 27 Oktober 2019   10:27 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia dalam bahaya, bukan karena ancaman militer atau terorisme. Indonesia terancam oleh warga negaranya sendiri. Mereka yang disebut kaum intelektual dan memiliki gelar-gelar akademis yang tinggi. 

Para intelektual dan akademisi tersebut dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya berbicara dengan lantang soal demokrasi, globalisasi, dan liberalisme.

Dengan kata-kata yang indah dan mengesankan, mereka mendakwahkan nilai-nilai Barat kepada bangsa Indonesia. Mereka menolak nasionalisme dan menganggapnya usang. Indonesia secara ekonomi harus berkiblat ke Amerika dan Eropa. Bahkan nilai-nilai Pancasila hendak didekonstruksi.

Bisa jadi mereka adalah agen-agen perang neokorteks. Perang neokorteks adalah perang untuk mengubah persepsi suatu kelompok/bangsa sehingga mereka dengan ditaklukkan walaupun bukan dengan kekuatan senjata. 

Neokorteks adalah otak bahasa yang hanya dimiliki oleh manusia. Dengan menguasai pemikiran suatu bangsa, dengan mudah negara-negara asing menguasai negara-negara tersebut dan mengeksploitasi SDA-nya.

Dengan kata lain, para intelektual tersebut adalah korban cuci otak yang dilakukan negara-negara penjajah tersebut. Dengan sejumlah beasiswa untuk melanjutkan studi S2 dan S3 di Amerika dan Eropa, para calon pemimpin bangsa Indonesia "dicuci otak" agar mengikuti pemikiran dan ideologi negara-negara Barat. 

Mereka kemudian menjadi penghamba dan pemuja-muja pemikiran Barat Mereka pun pulang dengan gelar Master atau Doktor dan "mengamalkan" ilmunya di negeri ini.

Mereka menjadi penyokong penuh ideologi-ideologi Barat seperti demokrasi, liberalisme ekonomi, pasar bebas dan kompetisi. 

Mereka mendukung keberadaan perusahaan-perusahaan multinasional yang bertujuan untuk menjadikan rakyat negara-negara dunia ketiga sebagai konsumenn dan mengeruk kekayaan alamnya.

Mereka menjadi intelektual Indonesia yang terbaratkan. Dengan mengontrol kekuatan intelektual, negara-negara dunia ketiga dengan mudah dikuasai. 

Antonio Gramsci menyebutnya sebagai hegemoni, suatu upaya untuk menguasai pemikiran seseorang atau kelompok dengan ideologi tertentu. Dalam konteks ini, elit intelektual menjadi obyek yang dihegemoni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun