Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demonstrasi Tanpa Literasi

29 September 2019   18:00 Diperbarui: 29 September 2019   18:02 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa Indonesia agaknya gemar sekali berdemonstrasi. Sudah menjadi tradisi bagi kalangan mahasiswa Indonesia untuk lebih mengedepankan aksi-aksi jalanan ketimbang nalar. Demonstrasi mahasiwa kemarin menunjukkan mahasiswa Indonesia sangat peduli dengan nasib bangsa.

Kita bisa mengatakan para mahasiswa sebagian besar memahami apa yang mereka tuntut dari pemerintah dan DPR. Para mahasiswa ini kita asumsikan sebagai kaum intelektual yang terpelajar. Mereka berada pada usia menjelang dewasa. Sebagai kalangan yang dididik di perguruan tinggi seharusnya mereka bisa menyampaikan aspirasinya tidak hanya melalui demonstrasi dan diskusi melainkan juga dengan menulis.

Sayangnya, tradisi menulis sendiri hampir hilang di kalangan mahasiswa. Menulis di sini bukan hanya menulis tugas-tugas kuliah, seperti makalah, laporan akhir, review buku, dan skripsi, melainkan menuliskan gagasan dan aspirasinya kepada masyarakat yang lebih luas. Seharusnya para mahasiswa mampu menyalurkan aspirasinya secara lebih intelek, bukan sekedar berteriak-teriak di jalanan.

Dalam sebuah pemberitaan beberapa tahun lalu, Abdul Khak, kepala Badan Bahasa Bandung, (kompas.com, 23/11/2011) menyatakan tradisi menulis di Indonesia lebih rendah daripada minat baca terutama di kalangan generasi muda. Minat baca yang rendah menyebabkan minat menulis yang rendah.

"Kualitas dan kemampuan menulis mahasiswa saat ini cenderung rendah. Ini juga membuktikan bahwa, minat membaca mahasiswa sekalipun rendah," ujar Abdul.

Banyak dosen yang mengeluhkan kualitas tulisan mahasiswa. Seharusnya hal ini tidak terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Menulis sebenarnya memang bukan sesuatu yang mudah. Faktanya, masih banyak mahasiswa yang belum mampu membaca dan menulis dengan baik. Mereka tergagu-gagu dalam menulis. Berbeda dengan demonstrasi, menulis membutuhkan pemikiran dan daya analitis yang dalam dan tajam. Seharusnya mahasiswa harus mampu berpolemik di media dengan menulis artikel yang bernas.

Mari kita berkaca pada para pemimpin dan intelektual bangsa, Bung Hatta telah secara rutin menulis kolom di majalah Perhimpunan Indonesia pada dekade 1920-an sewaktu masih menjadi mahasiswa di negeri Belanda. Tulisan-tulisan Soe Hok Gie sewaktu menjadi mahasiswa Sejarah UI mewarnai rubrik opini berbagai koran di era 1960-an.

Menulis adalah tradisi intelektual yang terlupakan bahkan nyaris hilang. Pers mahasiswa kini tidak bangkit lagi. Mahasiswa dan kita semua dimanjakan dengan internet dan media sosial. Tentu tidak semua mahasiswa seperti itu. Masih banyak yang rela datang ke perpustakaan dan toko buku.

Demonstrasi memang baik namun lebih baik kita menambahnya dengan menulis secara sistematis dan jelas argumennya. Selama ini ada kekhawatiran generasi muda Indonesia malas menulis. Mereka lebih suka menulis di medsos yang terbatas karakternya ketimbang menuangkan gagasan dan pemikiran pada sebuah artikel.

Masyarakat dan mahasiswa Indonesia lebih suka berbicara di depan publik ketimbang berkontemplasi dan menulis. Bicara memang lebih mudah dan cepat diliput oleh media. Dalam ilmu linguistik, masyarakat Indonesia telah lompat dari kelisanan primer ke kelisanan sekunder tanpa melewati frase literasi. Para pejabat, menteri, dan anggota DPR sekalipun lebih suka berbicara daripada menulis.

Seharusnya para mahasiswa lebih mampu  menulis untuk mencerahkan masyarakat daripada hanya sekedar berdemonstrasi di jalanan. Gerakan mahasiswa telah berpolitik moral. Dan ini bukan suatu kesalahan. Demonstrasi menjadi salah-satu jalan untuk berekspresi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun