Negara-negara di dunia ini terpisah menjadi negara-negara utara dan negara selatan. Utara melambangkan negara-negara makmur sedangkan Selatan adalah negara-negara berkembang dan miskin. Banyak pertanyaan mengapa ada dikotomi antara negara kaya dan negara miskin? Apakah perbedaan antara keduanya?
Negara-negara yang kaya sumberdaya alam tidak otomatis menjadi negara kaya. Banyak negara kaya sumber daya alam terjebak dalam penyakit Belanda atau Dutch disease. Saat itu pada dekade 1980-an, ditemukan minyak di lepas pantai Belanda. Namun penemuan minyak tersebut tidak menjadikan Belanda kaya. Justru negara itu terperosok ke lubang krisis ekonomi yang dalam.
 Saat ini ada beberapa negara-negara kaya sumberdaya alam yang mengalami krisis ekonomi yang parah seperti Venezuela dan negara-negara miskin di Afrika. Venezuela mengalami krisis ekonomi parah yang ditandai oleh inflasi yang membumbung tinggi. Pasca meninggalnya pemimpin sosialis kharismatik, Hugo Chavez, ekonomi dan politik Venezuela cenderung tidak stabil.
Sementara negara-negara Afrika memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Emas, intan, berlian, tembaga, dan minyak dapat ditemukan dengan mudah di negeri mereka. Namun mereka justru terjerembab dalam kemiskinan.
Sementara itu negara-negara Eropa Barat yang tidak memiliki sumberdaya alam yang melimpah justru menjadi negara-negara kaya di dunia. Jauh dari tetangganya negara-negara Eropa Timur, Asia dan Afrika.
Ada beberapa analisis yang bisa dikemukakan  dalam hal ini. Menurut David Landes, professor emiritus sejarah dan ekonomi, dalam bukunya The Wealth and Poverty of Nations -- Why Some are so Rich and Some so Poor, ada beberapa faktor yang bisa dilihat.
Pertama, faktor iklim. Negara-negara kaya dan makmur di Eropa Barat beriklim sedamg sehingga hal ini menyebabkan penduduknya rajin dalam bekerja. Namun hal itu dibantah dengan fakta bahwa negara-negara Eropa Timur juga beriklim sedang. Pendapat yang terlu menitikberatkan pada faktor geografis saja tidak cukup kuat menjelaskan fenomena yang ada. Bahkan menurut Thee Kian Wie pendapat Landes ini cenderung bias rasial.
Kedua, di negara-negara Afrika dan Asia tidak mempunyai budaya yang mendorong penemuan ilmiah dan pengembangan inovasi teknologi. Negara-negara Asia dan Afrika baru mempelajari teknologi ketika negara-negara Barat menjajah mereka. Perkembangan IPTEK di negara-negara terjajah sangat terlambat bahkan tidak terkejar oleh negara-negara Asia dan Afrika. Dalam hal ini, negara-negara Asia dan Afrika tidak mempunyai institusi ekonomi politik inklusif.
Ini berbeda dengan negara-negara Eropa Barat dimana terdapat budaya yang mendukung perkembangan inovasi teknologi dan penemua ilmiah. Sejak revolusi Industri bergulir dimulai dari Inggris, masyarakat Eropa Barat menerima perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan antusias.
Masyarakat Eropa Barat memang mengalami dinamika yang cukup keras. Perkembangan teknologi pada awalnya mengalami penentangan dari kaum aritokrat atau kelas bangsawan. Mereka menganggap perkembangan teknologi akan mengancam status-quo kaum aristokrat. Berbagai undang-undang pun dibuat untuk mengurangi inovasi teknologi. Namun hal ini kurang berhasil. Masyarakat menghendaki perkembangan ilmu dan teknologi yang akan sangat memudahkan mereka.
Sementara di negara-negara jajahan, pemerintah hanya menjadikan kaum pribumi sebagai operator teknologi. Itupun mereka ditempatkan di bagian rendahan. Pemerintah penjajah memang membangun sekolah-sekolah teknik untuk mencetak pegawai rendahan. Hanya sedikit kaum pribumi yang meneruskan pendidikan pada perguruan tinggi teknik. Hanya ada sedikit insinyur pribumi pada negara-negara terjajah.