Pidato Presiden terpilih Joko Widodo mengenai investasi asing membuat kita berpikir kembali. Selama ini kaum nasionalis ekonomi menyebarkan wacana bahwa investasi asing itu buruk. Investasi asing adalah penjajahan ekonomi terhadap bangsa Indonesia. Investasi asing  ditengarai membawa kepentingan ideologis, politis, dan tentu saja ekonomi.
Mencuatnya wacana investasi asing di Indonesia sudah berlangung cukup lama di Indonesia. Pada dekade 1970-an, sejumlah mahasiswa berdemonstrasi menolak modal Jepang di Indonesia. Puncak dari protes ini adalah insiden Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) yang berbuntut kerusuhan di Jakarta.
Padahal Undang-undang investasi asing sudah ditandatangani Presiden Soekarno pada tahun 1967. Â Soekarno-lah yang membuka investasi asing bukan Soeharto. Namun investasi asing mulai marak sejak periode-periode awal Orde Baru. Sejak saat ini pemerintah mulai membenahi perijinan, infrastruktur, dan lain sebagainya. Berbagai paket kebijakan ekonomi pun dibuat untuk menarik investor asing.
Investor terbesar di Indonesia menurut data terkini adalah Singapura, disusul oleh Jepang dan Amerika Serikat (AS). Sebenarnya, menurut ekonom Faisal Basri dalam sebuah acara di internet mengatakan jumlah investasi asing di Indonesia masih terbilang kecil.
Hal ini tidak terlepas dari beragam wacana yang bernuansa nasionalis ekonomi. Investasi merupakan bentuk persekongkolan kaum kapitalis internasional untuk menguasai negara-negara dunia ketiga. Wacana yang bersifat Marxian ini sukses membius kita tentang bahaya dan dampak buruk investasi asing.
Hal ini tidak lepas dari propaganda kelompok-kelompok tertentu yang menolak investasi asing berdasarkan ideologi tertentu. Sebaliknya, para pendukung investasi asing mendasarkan pandangannya pada mazhab ekonomi pembangunan. Investasi asing dipercaya akan menciptakan daya dorong pada pertumbuhan ekonomi.
Namun kini tidak dapat dipungkiri, Indonesia membutuhkan investasi asing untuk mendongkrak perekonomian. Membuka pintu liberalisasi bukanlah sebuah kebijakan buruk. Kita dapat berkaca dari India yang membuka keran liberalisasinya sejak 1991. Hal ini menyebabkan India diserbu perusahaan-perusahaan multinasional. India bermetamorfosis menjadi kekuatan dunia di era globalisasi ini
Sedangkan kita di Indonesia ini masih malu-malu untuk membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing. Dampak buruk investasi asing memang patut diwaspadai namun bukan berarti kita harus menutup diri.
Di era kapitalisme global mau tidak mau Indonesia harus membuka diri. Investasi asing --sekali lagi--merupakan bentuk kerja sama yang harus saling menguntungkan. Hampir di seluruh dunia, tidak ada negara yang ingin maju, kecuali menerima investasi asing. Hanya negara-negara yang masih mempertahankan sosialisme yang menolak investasi asing, seperti halnya Kuba, Korea Utara, dan Venezuela.
Dedengkot komunisme di dunia internasional, China, sudah mengubah haluan ekonominya. RRC adalah kapitalis berkulit sosialis. China saja sudah membuka diri sejak 1979. Indonesia sendiri sudah membuka diri sejak 1967 namun investasi asing tetap menjadi suatu permasalahan yang mengganjal.
Sudah selayaknya Indonesia meninggalkan sifat terlalu protektif terhadap modal asing. Asalkan regulasi mendukung dan adil terhadap rakyat Indonesia. DPR dan LSM harus mengawal investasi asing ini di negeri kita. Jangan sampai investasi asing ini merugikan rakyat Indonesia sendiri. Peraturan harus ditegakkan dengan adil. Indonesia harus tegak menghadap investasi asing, bukan dengan menundukkan kepala. Wallahua a'lam.