Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengikat Makna, Mengikat Kehidupan

23 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 23 Desember 2018   06:02 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Raditya Dika, adalah salah-satu penulis kreatif yang tulisan-tulisannya menghadirkan humor yang segar. Buku-buku Raditya bicara mengenai pengalamannya sehari-hari. Semua itu diramu dengan kejenakaan yang membuat kita bisa tertawan sendiri.

Sedangkan tulisan-tulisan kreatif lainnya dapat kita baca dari penulis-penulis terkemuka. Dulu almarhum Umar Kayam menuliskan sebuah kolom di Harian Bernas yang sangat kreatif. Begitu juga dengan Emha Ainun Nadjib, Mohammad Sobary, dan Yudi Latif yang menulis tema-tema yang berat dengan rasa yang renyah dan menggigit.

 

Para penulis dan perjalanan sebuah bangsa

Tulisan adalah produk sebuah peradaban. Reputasi sebuah bangsa dapat kita lihat dari para penulisnya. Peradaban Indonesia ini pun mempunyai penulis-penulisnya sendiri yang membawa keluh-kesah dan suka-dua bangsa ini. Sesungguhnya karya-karya para penulis sangat dirindukan bangsa ini. Para penulis merekam jejak perjalanan sebuah bangsa. Para penulis mengikat makna untuk sebuah bangsa. Para penulis mengikat pengetahuannya untuk sebuah bangsa.

Seorang penulis pernah mengatakan kalau ingin melihat kondisi sebuah bangsa, lihatlah kondisi para penulisnya. Penulis adalah peniup peluit (whistle blower) ketika ada yang salah dengan bangsanya. Tulisan-tulisan para penulis merefleksikan keadaan sebuah bangsa. Dan ini tidak hanya berlaku bagi penulis non-fiksi, tetapi juga fiksi. Berapa banyak novel, cerpen, dan roman yang melukiskan keadaan masyarakat dan perjalanan sejarah sebuah bangsa. Dari Siti Nurbaya sampai Arus Balik semua bicara tentang nasib sebuah masyarakat.

Sebenarnya Indonesia pernah menghasilkan banyak penulis berbakat. Namun selama Orde Baru, pelajaran menulis dan membaca tempat mendapat tempat yang layak dalam kurikulum sekolah-sekolah kita. Baru setelah reformasi, membaca dan menulis kembali ditinjau sebagai pelajaran yang terlupakan.

Taufik Ismail pernah mengatakan dalam sebuah videonya bahwa kita merindukan anak-anak bangsa yang ketagihan menulis dan membaca. Anak-anak bangsa yang sungguh-sungguh membaca buku dan menulis. Sekolah-sekolah tidak mengajarkan kecintaan membaca buku dan mengarang. Banyak penulis yang belajar secara otodidak. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita untuk melatih kader-kader penulis.

Akhirul kalam, menulis adalah mengikat makna. Dan mengikat perjalanan hidup kita. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun