Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis, Sulitkah?

25 April 2018   00:29 Diperbarui: 25 April 2018   00:43 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: pxhere.com)

Menurut Isabella Ziegler, "writing is a lonely profession". Menulis adalah pekerjaan yang sepi. Pada umumnya, para penulis menulis di tengah kesepian dan kesendirian. Mereka tidak terbiasa melakukannya di tengah-tengah keramaian. Menulis adalah pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi dan perenungan. Dan hal ini tidak dapat dicapai di tengah masyarakat yang terburu-buru.

Tapi asyiknya, menulis merupakan sebuah latihan intelektual (intellectual exercise). Ketika kita menulis intelek kita bekerja keras dalam menyeleksi kata-kata apa yang patut disampaikan. Kita berpikir untuk merumuskan apa yang kita tulis. Menulis adalah salah-satu cara kita berhubungan dengan pikiran banyak orang. Menulis membutuhkan kemampuan kognitif kita dan afeksi kita.

Menulis juga dapat dilakukan dengan perasaan. Ketika kita menulis surat cinta, misalnya. Kita menulis dengan penuh perasaan. Begitu pula kalau kita menulis cerpen dan novel. Unsur emosi lebih tampak daripada unsur logika.

Menjadi penulis di negeri ini belum mendapat penghargaan layak masyarakat. Hal ini karena masyarakat Indonesia tidak suka membaca. Mereka lebih suka berbicara dan mendengar daripada membaca dan menulis.

Indonesia hanyalah salah-satu negara dunia ketiga. Buku masih menjadi barang mahal bagi sebagian orang. Padahal mereka mampu membeli ponsel pintar,  televisi layar datar, peralatan elektronik daripad membeli buku.

Menulis menjadi tidak populer di negeri ini karena sistem pendidikan kita tidak mendukung peserta didik untuk pandai menulis. Tidak semua orang memang harus menjadi penulis. Namun keterampilan menulis di era millenium sangat dibutuhkan dalam karir, bisnis, pemerintahan apalagi media.  

Penyair Taufiq Ismail mengatakan bahwa generasi muda Indonesia "rabun membaca dan pincang mengarang. Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia terlalu berorientasi pada tata bahasa, bukan membaca dan mengarang.

Menurut Taufiq Ismail, kecintaan membaca buku tidak diajarkan di sekolah-sekolah kita. Apalagi bimbingan mengarang. Sekolah-sekolah kita amat tertinggal jauh dalam hal ini.

Para pemikir dan pendiri bangsa ini adalah para penulis dan cendekiawan. Soekarno dan Hatta adalah para penulis. Begitu juga dengan Haji Agoes Salim, M. Yamin, Sjahrir, Soepomo, dan lain sebagainya. Menulis bagi mereka adalah menyampaikan gagasan tentang kemerdekaan. Dengan meninggalkan banyak karya tulis, mereka telah meninggalkan jejak yang akan terus dikenang oleh bangsa ini.

Menulis adalah merekam keabadian. Sebuah jejak di alam dunia yang akan kita tinggalkan. Sekaligus memberi manfaat bagi sesama. Wallahu a'lam bisshowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun