Sinetron "Dunia Terbalik" yang ditayangkan RCTI telah diganjar sebagai sinetron terbaik beberapa waktu lalu. Sinetron yang mengisahkan kehidupan di sebuah desa yang mayoritas warga perempuannya pergi merantau ke luar negeri sebagai TKW sukses meraih rating tertinggi di Indonesia. Sebagian orang  mungkin menyangka bahwa apa yang terjadi di sinetron hanyalah cerita rekaan semata. Bukan sebuah realitas yang pernah terjadi.
Sebenarnya apa yang diceritakan oleh sinetron tersebut merupakan penyederhanaan dari realitas sosial yang terkadang sangat pahit. Memang benar beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat, banyak warga perempuannya yang menjadi TKW di luar negeri. Jauh meninggalkan keluarga  demi penghidupan yang lebih baik. Namun realitasnya tidak sebaik yang diceritakan dalam sinetron tersebut.
Beberapa daerah di Jawa Barat, seperti Sukabumi, Karawang, dan Indramayu, ditinggal sebagian warga perempuannya merantau ke luar negeri sebagai TKW. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di negara-negara kaya minyak di Timur Tengah, Malaysia, Singapura, dan Hong Kong. Memang benar gaji mereka sangat tinggi bila diukur dengan rupiah. Namun yang tidak diceritakan adalah banyak PRT yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual oleh majikannya. Status mereka di luar negeri dipandang rendah. Sehingga rentan dengan penyiksaan dan perlakuan tidak menyenangkan.
Untuk menjadi TKW tidak semudah yang digambarkan dalam sinetron "Dunia Terbalik". Untuk menjadi TKW seorang perempuan muda dari desa harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit kepada penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). PJTKI mengirimkan banyak orang untuk membujuk gadis-gadis desa dan para istri untuk bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji yang besar. Agar bisa membayar jasa PJTKI, mereka harus berhutang ke sana ke mari. Kadang kepada rentenir dengan bunga yang sangat besar. Biaya-biaya itu harus dibayar dengan gaji mereka ketika sudah bekerja nanti.
Sebelum berangkat, mereka dikarantina di sebuah tempat yang tidak layak. Dijejalkan bagaikan ikan sarden dengan alasan akan diberi pelatihan. Namun nyatanya tidak seperti itu. Kadang bahkan mereka tidak memperoleh pelatihan sama sekali. Padahal peraturan pemerintah mengharuskan mereka mendapatkan pelatihan sebelum berangkat.
Para TKW ini meninggalkan anak dan suami serta keluarga besarnya. Menurut laporan beberapa media dan cerita dari mulut ke mulut, banyak suami yang bermalas-malasan, tidak produktif, tidak becus mengurus anak, terlibat judi dan mabuk-mabukan, bahkan ada yang kawin lagi tanpa sepengetahuan istri pertama. Kondisi TKW Indonesia memang dilematis. Di satu sisi, di kampung halaman tidak ada pekerjaan yang memberikan pendapatan yang layak, di sisi lain mereka harus meninggalkan keluarga.
Cerita kekerasan dan penelantaran terhadap TKI/TKW bukan berita baru. Sudah banyak media yang melaporkannya. Ribuan kasus terjadi setiap tahunnya. Namun sayangnya, pemerintah tidak berniat menghentikan pengiriman TKW ke luar negeri dengan alasan demand (permintaan) sangat tinggi. Padahal Amien Rais, ketika masih menjabat ketua MPR di depan televisi, pernah menyatakan agar pemerintah menghentikan pengiriman TKW. Masalah ini berkaitan dengan harkat dan martabat bangsa. Dimana marwah negara ini yang membiarkan kaum wanitanya dilecehkan di negeri orang? Negara seakan diam saja atau hanya sedikit memberi pertolongan kepada TKI/TKW yang mengalami masalah di negeri orang.
Pemerintah Indonesia memang telah membentuk BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI) untuk membantu para TKI. Namun kepala BNP2TKI lebih merupakan jabatan politis ketimbang jabatan karir. Jabatan kepala BNP2TKI diberikan kepada para politisi yang  menjadikannya sebagai batu loncatan ke posisi yang lebih tinggi. Akibatnya perlindungan terhadap TKI masih kurang maksimal. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia juga telah membentuk satu divisi untuk menangani masalah TKI. Namun tetap saja, potensi kekerasan dan pelecehan terhadap TKW Indonesia sangat besar.
Realitas sebenarnya lebih diakibatkan oleh faktor struktural. Kemiskinan dan ketimpangan di pedesaan menyebabkan para perempuan desa mati-matian ingin bekerja di luar negeri. Padahal kebanyakan dari mereka berpendidikan rendah dan tidak punya keterampilan apa pun. Bagi para pengusaha PJTKI ini merupakan bisnis besar. Sedangkan bagi para calon TKW hal ini merupakan pengorbanan yang sangat besar.Â
Pemerintah harus memperbaiki ketimpangan struktural antara kota dan desa untuk mengatasi masalah ini.  Generasi muda di pedesaan harus diberikan pendidikan dan keterampilan yang baik agar tidak bernasib seperti orang tuanya. Kaum perempuan harus diberikan pendidikan yang cukup agar tidak mudah tertipu. Akses kepada modal dan informasi harus diberikan kepada masyarakat desa. Para petani harus diberikan insentif agar mau menanam tanaman yang produktif. Sayangnya, kondisi petani Indonesia terus terpuruk. Para petani dengan lahan sempit terpaksa harus berhutang ke bank untuk membeli benih dan pupuk.  Lapangan pekerjaan di pedesaan, khususnya pertanian, semakin menyurut. Dan kalau ada, penghasilannya sangat kecil. Kemiskinan di pedesaan adalah penyebab  kepergian para TKW ke luar negeri.
Pemerintah, masyarakat dan sektor swasta adalah aktor-aktor utama dalam pembangunan. Pembangunan ekonomi selayaknya tidak menjadikan rakyat hanya sebagai obyek. Â Itulah sedikit realitas di balik sinetron "Dunia Terbalik" yang penuh ironi. Semoga di masa depan, TKW lebih terlindungi dan dibekali keterampilan yang lebih baik.