Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Politik dan Budaya Literasi Kita

5 April 2015   06:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:31 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik dan budaya literasi kita seolah-olah tidak berkaitan. Sepertinya elit-elit politik kita tidak pernah peduli terhadap budaya literasi. Diskusi-diskusi anggota Dewan lebih banyak menyentuh persoalan ekonomi, skandal politik, transportasi, korupsi, sampai konflik antar berbagai kepentingan di negara kita tercinta ini. Walaupun UU No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan memberikan harapan kepada kita akan berkembangnya budaya literasi, namun implementasi UU tersebut masih jauh dari harapan.

Budaya literasi sejatinya membutuhkan dukungan politik  dari Pemerintah dan DPR. Budaya literasi berkaitan dengan masa depan bangsa, karena itu perlu mendapat perhatian serius. Selama ini dukungan dari pemerintah bersifat temporer, baru ada perhatian jika peringatan hari-hari tertentu seperti Hari Aksara Nasional.  Perhatian pemerintah terhadap peningkaan budaya literasi seolah tidak serius. Hanya bersifat pencitraan semata.

Sebenarnya isu budaya literasi di Indonesia sejak berkembang sejak masa Orde Lama. Pada masa itu sejumlah anggota DPR-GR yang dibentuk Presiden Soekarno menaruh perhatian serius terhadap budaya literasi.  Akan tetapi hingar-bingar politik meminggirkan budaya literasi perhatian publik.. Walaupun Soekarno adalah seorang pembaca dan penulis buku, namun tidak tampak upayanya untuk menyebarkan budaya literasi.

Pada masa Orde Baru, kondisinya nyaris tidak berubah. Rezim ini tidak punya perhatian banyak pada buku. Indonesia bahkan pernah mengalami krisis buku pada tahun 1973 di mana tak satu pun buku terbit pada tahun itu. Rezim Orde Baru juga tidak punya minat kepada intelektualisme.  Banyak intelektual yang dikerangkeng karena menentang kebijakan Presiden Soeharto.

Memang pada masa akhir jabatan Presiden Soeharto sempat diadakan Bulan Buku Nasional tapi hanya bersifat hangat-hangat tahi ayam. Soeharto dan para menterinya tak pernah kelihatan suka membaca buku. Ia lebih suka memberi petunjuk kepada aparatnya. Rezim ini juga suka melarang buku-buku tertentu yang bisa menggoyangkan kekuasaan pemerintah dan militer.

Harapan kembali muncul pada masa Reformasi.  Peraturan yang melarang buku-buku tertentu dihapus.  Dunia perbukuan kembali bergairah. Berbagai macam buku diterbitkan. Namun itu juga bersifat temporer. Setelah sempat mengalami booming, dunia perbukuan kembali mengalami kelesuan. Mahalnya harga buku dan rendahnya minat baca masyarakat dituding sebagai biang keladi lesunya perbukuan Indonesia.

Yang terpenting dari ini sebenarnya, pemerintah pusat dan daerah tidak benar-benar menaruh perhatian serius terhadap perkembangan budaya literasi. Budaya ini masih dinomorduakan. Dianggap kurang penting dari pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Hanya sedikit pemerintah daerah yang benar-benar peduli terhadap budaya literasi. Hal ini ditambah dengan ketidakpedulian elit-elit politik, ekonomi, dan budaya di daerah terhadap pengembangan budaya literasi. Sekali lagi, buku dianggap tidak lebih penting daripada nasi dan roti. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota hanya sedikit menganggarkan dana untuk perpustakaan lokal.

Presiden Jokowi membubarkan Dewan Buku Nasional yang dibentuk pada masa Presiden SBY sehingga tidak ada lagi lembaga yang mengurusi perbukuan pada level nasional. Presiden Jokowi dan wakilnya, M. Jusuf Kalla, juga tidak pernah terlihat membaca buku. Argumentasi Presiden Jokowi ketika ditanya wartawan dalam konferensi Pers dan pernyataannya dalam forum-forum nasional dan internasional tidak menyiratkan beliau adalah seorang yang suka membaca buku.

Begitu juga anggota-anggota DPR di Senayan. Mereka mungkin membaca dan mengkoleksi buku, namun sebatas buku-buku politik dan undang-undang. Tidak terlihat mereka memahami masalah kebudayaan dan pendidikan. Apalagi artis-artis yang menjadi anggota DPR yang terhormat itu, mereka juga tidak tampak pandai dalam mengidentifikasi suatu masalah. Argumen mereka sangat dangkal. Tak terlihat mereka punya intelektualitas yang memadai untuk menjadi anggota Dewan.

Hal ini menunjukkan budaya literasi masih terpinggirkan pada lanskap ekonomi dan politik kita. Mari berkaca kepada Amerika Serikat, pada dekade 90an sempat terjadi debat besar (great debate) di parlemen lokal Texas. Debat diselenggarakan berkaitan dengan pembudayaan literasi  pada negara bagian Texas. Pada masa Presiden Clinton, diadakan program “America Read Challenge” setelah ditemukan fakta bahwa anak-anak usia SD belum banyak yang lancar membaca. Pemerintah Clinton juga menemukan fakta bahwa sedikit warga dewasa AS yang berkunjung ke perpustakaan dan toko buku setelah lulus sekolah menengah dan perguruan tinggi. Lembaga National Endowment Arts dibentuk untuk mengadakan riset budaya literasi di Amerika.

Sementara itu Inggris membentuk National Literacy Trust untuk mempromosikan budaya literasi kepada generasi muda dan dewasa. Rendahnya minat baca generasi muda Inggris sudah menggelisahkan elit-elit politik negeri itu. Sedangkan pemerintah Indonesia tampak adem ayem saja ketika penelitian UNESCO menunjukkan hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka membaca. Tingkat literasi kita juga hanya berada pada rangking 64 dari 65 negara yang disurvei. Satu fakta lagi yang miris tingkat membaca siswa Indoneisa hanya menempat urutan 57 dari 65 negara.

Berdasarkan data BPS, jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit per hari. Jumlah ini terlalu besar dibanding anak-anak di Australia yang hanya 150 menit per hari dan di Amerika yang hanya 100 menit per hari. Sementara di Kanada 60 menit per hari.

Budaya literasi Indonesia berada dalam kondisi kritis. Mengapa Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf  Kalla tampak tenang-tenang saja? Apa mereka tidak pernah membaca berita dan data statistik?

Agaknya mereka juga tidak terlalu peduli pada nasib budaya literasi di Indonesia. Sudah saatnya kelompok-kelompok masyarakat sipil memperjuangkan budaya literasi dan mengingatkan pemerintah dan elit politik agar segera mengambil kebijakan yang efektif. Jika tidak, Indonesia akan terus terpuruk dan menjadi negara paria. Budaya literasi adalah masalah serius.

Sedih hati kita melihat kemiskinan dan kebodohan sebagian besar masyarakat di negeri ini di tengah sumber daya alam yang dieksploitasi oleh segelintir kecil pengusaha dan perusahaan asing. Semoga Jokowi-JK segera sadar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun