Mohon tunggu...
Hanum Salvadila
Hanum Salvadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

saya memiliki banyak hobi tapi saat ini saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Posisioning Perempuan Aceh Dalam Ruang Publik

10 Desember 2024   15:47 Diperbarui: 10 Desember 2024   16:02 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah gambaran mengenai Aceh dan perempuan Aceh. Dimana persoalan terkait dengan gender yang mulai meluas pasca terjadinya konflik dan tsunami, hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh adanya beberapa faktor. Adanya trauma terharap konflik yang terjadi secara berkepanjangan pada tahun 1976-2005 membuat perempuan di Aeh mengalami banyak sekali penindasan serta penyimpangan terhadap hak asasi mereka, terutama yang berkaitan dengan harkat serta martabatnya sebagai perempuan. Tidak sedikit dimana perempuan Aceh mejadi korban penyiksaan dan kekerasan oleh para laki-laki sepanjang masa terjadinya konflik Aceh, bahkan sampai berujung pada kematian. Selain konflik Aceh, tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 semakin memperburuk kehidupan perempuan Aceh secara lahiriah dan batiniah.

Menurut United States Agency for International Development (USAID), perempuan sangat rentan menjadi korban ketika berada di wilayah konflik (Kvitashvili 2007). Adanya konflik yang berkepanjangan menjadikan banyak perempuan di Aceh sebagai objek kekerasan, pembunuhan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan (Ishak 2000). Meskipun konflik yang terjadi secara berkepanjangan banyak merugikan kaum perempuan namun masih ada beberapa perempuan Aceh yang berusaha untuk mendampingi korban, menyalurkan pencabutan status operasi militer dan juga menginisiasi perdamaian dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

Kekerasan terhadap rakyat Aceh, khususnya kaum perempuan berlangsung selama  sekitar 30 tahun. Sejak Pemerintah Indonesia melakukan tindakan represif terhadap  gerombolan  GAM menggunakan penetapan Aceh menjadi DOM dalam tahun 1989-1998 dan DM di  tahun 2003 sudah terjadi banyak pelanggaran HAM di Aceh, termasuk pada aktivis  perempuan   Aceh. Selain menerima perlakuan diskriminatif selama konflik, mereka jua menghadapi berbagai macam masalah baru misalnya kesulitan pada akses ekonomi serta termarginalkan dalam perseteruan politik.

Di waktu suara kaum perempuan begitu diharapkan pada era reformasi dan demokratisasi, ketidakberdayaan wanita   pada ruang publik termasuk politik global yang berampak pada permasalahan  malah menciptakan tujuan semakin sulit untuk tercapai. Jatuhnya Soeharto telah membuka ruang baru bagi pergerakan aktivis perempuan secara nasional, termasuk aktivis perempuan Aceh. Awalnya pergerakan perempuan dikontrol oleh pemerintah melalui dua organisasi perempuan yaitu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita (Brenner 1999). Keterbukaan ruang bagi aktivis perempuan pasca jatuhnya Soeharto justru dimanfaatkan oleh aktivis perempuan Aceh untuk menjalankan misi kemanusiaan. Pada tahun 1990, Aktivis perempuan Aceh bersama beberapa mahasiswa pergi ke wilayah yang rentan terjadi konflik seperti Aceh Timur, Julok, Kota Binje, Perlak, Idi Rayek, serta Idi Cut untuk mengantarkan bantuan logistik, penguatan psikologis, pendidikan umum dan agama bagi anak-anak di barak pengungsian (Dalam wawancara dengan Rahmatan pada tanggal 27 Februari 2019). Selain donasi logisitik, aktivis wanita   Aceh pula menaruh pengetahuan pada warga  mengenai cara pemeriksaan dan pemantauan kekerasan yg dilakukan sang aparat militer supaya bisa dicatat lalu dilaporkan pada mereka.

Selain melakukan penguatan ekonomi, aktivis kaum perempuan yang berusaha mencari solusi atas permasalahan Aceh. Mereka mengadakan kongres besar  Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) menggunakan tema yang diusung merupakan Krue Semangat Ureung Inong Aceh Bak Duek Pakat Aceh Aman & Damai (Semangatlah Perempuan Aceh pada Musyawarah Aceh Aman & Damai). Suraiya Kamaruzzaman mengatakan bahwa damai dalam acara tersebut bukan berarti menyerah dengan menghilangkan fakta pelanggaran HAM di Aceh, tetapi perdamaian dengan jalan tidak ada lagi perang di Aceh (Suraiya Kamaruzzaman, 2019). Eka Srimulyani juga mengatakan bahwa, dalam skala yang lebih luas, beberapa aktivis perempuan ikut menyampaikan fakta konflik Aceh ke hadapan dunia internasional seperti lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan ke beberapa negara Eropa (Srimulyani 2012).

Mereka mulai aktif menaruh penguatan ekonomi secara berdikari juga atas donasi global internasional, yang mengajarkan dasar-dasar pemeriksaan terhadap tindakan kekerasan dan pembunuhan serta menginisiasi percakapan untuk merampungkan perseteruan di Aceh. Hal ini menandakan bahwa kaum perempuan pada daerah konflik selalu sebagai kelompok yang terdiskriminasi, namun mereka justru sebagai kelompok terdepan yang bisa melakukan perundingan menggunakan banyak sekali pihak di tengah-tengah konflik. Disini ruang publik bagi perempuan dapat lebih terbuka.

Dengan adanya keterlibatan perempuan dalam ruang publik bukan bertujuan untuk menantang atau merebut kekuasaan laki-laki, melainkan untuk menjadi setara. Sebenarnya peran serta perempuan dalam politik di parlemen pun sangat penting, dengan keberadaan mereka tidak hanya dianggap sebagai pelengkap tetapi sebagai politisi yang layak. Namun, pandangan masyarakat mengenai perempuan di parlemen masih sering dipengaruhi oleh kultur patriarki, di mana hubungan antara laki-laki dan perempuan dipahami dalam konteks superioritas dan inferioritas. Keberanian perempuan untuk meninggalkan urusan pribadi dan menjadi anggota parlemen adalah langkah yang perlu dianalisis. Meski begitu, rekrutmen perempuan di partai politik sering kali tidak setara dengan laki-laki, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Penyebab ketidaksetaraan ini bisa jadi karena kurangnya kesiapan perempuan, ketidakminatan mereka untuk menjadi politisi, atau kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap perempuan dalam politik. Deputi Peningkatan Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan dalam upaya mencapai keterwakilan perempuan sebanyak 30%, partai politik perlu mengadakan rekrutmen calon legislatif yang kompeten di bidangnya (KEMENKO PMK 2023). Proses ini melibatkan kegiatan rekrutmen politik dan sosialisasi politik. Keterlibatan perempuan Aceh dalam urusan publik, politik, dan pemerintahan bukanlah hal baru. Sebelum adanya regulasi tentang partisipasi perempuan dalam politik, perempuan Aceh sudah memiliki posisi setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek.

Di samping pemerintahan, perempuan Aceh juga berpartisipasi dalam lembaga lain. Keterlibatan mereka dalam politik dan keberhasilan dalam menjalankan misi politik tercermin dalam peran perempuan di era sekarang. Kerangka politik demokrasi di Indonesia telah mengalami perubahan, dan reformasi sistem keterwakilan sedang berlangsung.Untuk memperkuat partisipasi politik perempuan di Indonesia, khususnya di Aceh, harus dilihat dalam konteks transisi menuju sistem politik yang lebih demokratis. Perempuan memiliki hak politik yang setara di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, sama seperti anggota lainnya. Tidak ada perbedaan dalam pengambilan keputusan, melainkan bagaimana menghadapi setiap isu di parlemen Aceh agar perempuan tidak dianggap sebagai kaum subordinat.Jika kita menilik Aceh pada masa konflik Gerakan Aceh Merdeka, perempuan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sikap politiknya sebagaimana dijamin oleh negara. Mereka mengalami intimidasi yang signifikan akibat keadaan di Aceh saat itu, sehingga kesempatan bagi perempuan Aceh untuk terlibat dalam politik sangat terbatas.

Banyaknya bentuk intimidasi membuat perempuan Aceh merasakan trauma mendalam, menghambat keinginan mereka untuk berpartisipasi dalam ranah politik yang seharusnya dijamin oleh negara. Dengan adanya undang-undang yang mendukung keterwakilan perempuan, diharapkan mampu mendorong partisipasi perempuan dalam politik di Aceh. Ada harapan baru bagi perempuan Aceh setelah konflik berkepanjangan, namun sayangnya, perwakilan mereka belum sepenuhnya efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini termasuk dalam hal perlindungan perempuan dan anak, serta pendidikan politik bagi perempuan di Aceh, yang disebabkan oleh minimnya kehadiran politisi perempuan dalam parlemen daerah. Pemilihan perempuan di Aceh sering kali dipengaruhi oleh kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat setempat, termasuk dalam struktur politik tradisional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun