Alexithymia pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Peter Sifneos pada tahun 1972 yang merupakan seorang psikiater. Alexithymia merupakan kesulitan individu dalam mengidentifikasi perasaan serta membedakan perasaan dan sensasi tubuh akan emosi, kesulitan mengungkapkan perasaan kepada orang lain, keterbatasan dalam proses imajinasi yang ditunjukkan degan kurangnya fantasi, dan cara berpikir berdasarkan hal-hal yang nyata [1].
Di indonesia sendiri terdapat beberapa penelitian yang membahas alexithymia. Penelitian Harjanah menunjukkan jika 32,2% orang berusia 18-22 tahun memiliki alexithymia.Â
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Lestari menunjukkan jika 47% orang berusia 18-23 tahun memiliki alexithymia. Prevalensi tersebut tentu saja menunjukkan angka yang cukup tinggi.Â
Seseorang dengan alexithymia yang semakin meningkat akan mengalami masalah secara terus menerus dalam memproses dan mengatur emosi dimana hal tersebut dapat membuat dirinya menjadi rentan untuk mengembangkan permasalahan psikologis yang ditandai dengan gangguan mood [2][3].
Pola asuh yang diterima oleh anak dapat meningkatkan alexithymia pada dirinya. Pola asuh otoriter dimana orangtua berindak keras dan cenderung diskriminatif yang ditandai dengan tekanan anak untuk patuh kepada semua perintah dan keinginan orangtua dapat membatasi emosional anak sehingga anak memiliki perkembangan emosi yang kurang.Â
Anak dengan pola asuh otoriter cenderung enggan mengeksplorasi dan mengkomunikasikan emosi sehingga dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengatur emosi dan meningkatnya alexithymia dimana alexithymia yang dimiliki sejak anak-anak dapat bertahan hingga dewasa [4].
Pola asuh otoriter yang diterima oleh anak juga mendapat pertentangan dari filsafat progresivisme. Filsafat progresivisme tidak menyetujui untuk mendidik anak dengan sistem otoriter.Â
Mendidik anak dengan sistem otoriter menurut filsafat progresivisme akan mematikan anak sebagai pribadi yang gembira dan mematikan daya kreasi anak baik secara fisik maupun psikis. Menurut pandangan filsafat progresivisme, anak dilihat sebagai mahluk yang bebas, aktif, kreatif, dan dinamis. Dengan akal budinya, anak mampu menciptakan ilmu pengetahuan, sarana, kebutuhannya, sehingga mampu menghasilkan perubahan dan perkembangan [5].
Meskipun demikian, pengurangan tingkat alexithymia dapat dilakukan melalui terapi kelompok. Melalui terapi kelompok ini, seseorang dengan alexithymia akan berkesempatan untuk mengamati dan menirukan anggota kelompok lain yang mempu mengunggkapkan emosi.Â
Selain itu, melalui terapi kelompok seseorang dengan aelxithymia juga didorong untuk mengungkapkan perasaannya kepada orang lain dimana hal ini merupakan cara membantu mereka dalam mengidentifikasi dan mengkomunikasikan pengalaman emosionalnya.Â
Kemudian melalui terapi kelompok, seseorang dengan alexithymia juga dapat mempelajari bagaimana cara memahami emosi orang lain dengan mengeksplorasi keadaan emosi anggota kelompok dalam lingkungan yang lebih terstruktur [6].