Daratan menjadi salah satu wilayah yang menyimpan kekayaan sumber daya alam termasuk kehidupan flora dan fauna didalamnya. Namun saat ini wilayah daratan juga tengah mengalami perdinamikaan dalam perebutan pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam oleh sebab semakin meningkatnya sektor perindustrian. Masalah deforestasi, penggurunan, berkurangnya luas tanah yang dapat diolah, serta semakin terancamnnya kehidupan para fauna menjadi salah satu perhatian khusus para pemangku kepentingan global dan juga masyarakat dunia untuk dapat segera menanganinya dan mampu menciptakan kembali keseimbangan lingkungan tempat tinggal yang berkelanjutan terkhusus untuk para generasi masa depan.
Menyoroti kepada salah satu permasalahan dalam penyeimbangan penjagaan ekosistem darat pada tulisan ini merujuk kepada permasalahan deforestasi di negara indonesia fokusnya terhadap peranan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Diketahui bahwasanya kelapa sawit merupakan komoditi unggulan indonesia yang menjangkau pasar global dan sebagai sumber devisa negara. Akan tetapi perlu dilihat lebih lanjut bahwa pertanian kelapa sawit mencuatkan masalah deforestasi dimana lahan yang digunakan tidak menjamin akan pemanfaatan berkelanjutan setelah olah panen nya.
Melihat bagaimana sikap negara negara Eropa yang diamati memiliki rasa kepedulian terhadap aspek lingkungan yang tinggi. Demikian Uni Eropa sebagai salah satu instansi internasional menerapkan kebijakan RED (Renewable Energy Directive) II dimana dalam implementasinya dilakukan penekanan terhadap produk impor yang mengandung kelapa sawit disertai pemberian label “No Environment Goods” secara sukarela oleh para perusahaan. Kebijakan yang diusung oleh Uni Eropa merupakan suatu wujud daripada bentuk perhatiannya terhadap masalah deforestasi yang salah satunya disebabkan oleh proses pertanian kelapa sawit. Namun, bisa dikatakan bahwasanya kebijakan ini tidak secara murni dibentuk atas dasar permasalahan deforestasi, terdapat pula spekulasi akan adanya unsur daya saing penggunaan minyak nabati lokal dari negara negara Eropa. Akan tetapi, disini saya menggaris bawahi bahwasanya perhatian Uni Eropa terhadap masalah deforestasi ini juga memberikan penyadaran unttuk negara produsen kelapa sawit untuk lebih meningkatkan perhatiannya terhadap kondisi lahan bekas panen kelapa sawit.
Tentu kebijakan ini menuai pro dan kontra disatu sisi industri kelapa sawit menjadi industri unggulan beberapa negara menjadikan industri yang memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara serta industri sawit diketahui menyerap banyak tenaga kerja didalamnya yang demikian menekan tingkat pengangguran. Namun di lain hal kita juga tidak menutup mata akan industri pertanian sawit yang juga menjadi salah satu faktor meningkatnya permasalahan deforestasi. Karena masalah deforestasi memberikan dampak kepada setiap lini aspek kehidupan lainnya seperti mengganggu lingkungan masyarakat adat yang tinggal dipedalaman, yang juga menimbulkan keresahan dan ancaman atas tempat tinggal mereka. Disusul aspek lainnya ialah memberi dampak terhadap kepunahan spesies hewan di hutan hutan sebab hilangnya habitat asli mereka.
Ditelusuri bahwasanya pemanfaatan olahan minyak kelapa sawit lebih memiliki banyak kandungan manfaat kesehatannya bahkan dianggap setara dengan produk herbal, terlebih dari nilai ekonomis kelapa sawit memliki harga yang lebih murah dibanding minyak nabati lainnya. Namun yang perlu diperhatikan ialah bagaimana kita mendapatkan hasil panen kelapa sawit yang tidak memberikan dampak yang merugikan lingkungan. Meski industri sawit tidak dikatakan sebagai faktor utama masalah deforestasi, namun kita bisa meninjau bagaiamana dampak yang timbul terhadap lahan bekas pertanian sawit. Diketahui bahwasanya akar kelapa sawit memiliki ukuran yang cukup besar dan juga bentuknya yang melebar, satu batang kelapa sawit diketahui mampu menyerap 12 liter unsur hara dan air dalam tanah yang demikian memberikan dampak kerusakan pada tanah. Ditelusuri bahwasanya terdapat ribuan hektar hutan tropis dan lahan gambut di sana dihancurkan dan dialih rupa menjadi perkebunan sawit, disebutkan pula bahwasanya sekitar 45% lahan perkebunan sawit di Asia Tenggara yang mereka pindai sebelumnya adalah hutan tropis pada 1989.
Merujuk kepada target agenda global SDGs dari poin 15 adanya upaya untuk dapat dapat melaksanakan bentuk pengelolaan semua jenis hutan secara berkelanjutan, menghentikan deforestasi, merestorasi hutan yang terdegradasi dan meningkatkan secara signifikan forestasi dan reforestasi secara global. Dengan digaungkannya kebijakan RED II dalam permasalahan industri sawit cukup memberikan kesadaran untuk diupayakan industri sawit ini dilakukan dengan strategi yang berkelanjutan. Lalu, bagaimana menciptakan industri sawit yang berkelanjutan? Salah satu upaya yang bisa dilakukan ialah berkenaan dengan dilakukannya peningkatan kualitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan melalui proses sertifikasi yang sesuai dengan standarisasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dimana dalam bentuk sertifikasi tersebut secara langsung menunjukan bagaiamana komitmen Indonesia dalam meminimalisir masalah deforestasi serta penurunan emisi gas rumah kaca yang disebabkan dari gas metan hasil limbah cair pablik kelapa sawit.
Adapun upaya lainnya ialah diperlukannya langkah tegas pemerintah dalam pemberian perizinan di sektor kehutanan maupun pertambangan dengan turut mengeluarkan regulasi serta UU yang kuat dalam upaya perlindungan habitat alam seperti aturan perizinan dalam pembukaan lahan dikawasan hutan alam dengan pemberian standar lingkungan dan sosial yang lebih kuat guna memastikan rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan . Terus berupaya melakukan evaluasi secara bertahap dan dilakukan pengawasan yang ketat khususnya terhadap kegiatan operasional para perusahaan swasta asing terhadap lahan dalam negeri, yang demikian mampu mengurangi otoritas perusahaan untuk dapat mebuat keputusan penanganan lahan secara sukarela.
Mengutip dari pembukaan pidatonya sekjen PBB yakni Antonio Gueterres dalam KTT COP26 "Jangan lagi membunuh diri sendiri dengan karbon, memperlakukan alam seperti toilet, membakar, mengebor, dan menambang lebih dalam. Kita seperti menggali kuburan sendiri". Demikian memberikan penyadaran secara penuh untuk kita sebagai manusia tidak secara serakah terus melakukan ekspansi dan eksploitasi lahan dan juga sumber daya alam, melainkan aktivitas yang kita lakukan juga turut memberikan perhatian terhadap keadaan bumi sebagai upaya untuk dapat menciptakan keseimbangan ekosistem alam guna menjaga keberlangsungan hidup yang berkelanjutan terhadap generasi masa depan kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H