Mohon tunggu...
Indri Raisa Hanum
Indri Raisa Hanum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Aqidah Filsafat

Halo, mari berkisah sebagai subjek objek manusia dalam peran apapun itu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setidaknya Aku Harus Juara Kelas, Bukan?

29 Januari 2025   23:25 Diperbarui: 29 Januari 2025   23:36 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak ada cara lain bukan? Tanggungjawab selalu dibawa seiring hembusan nafas masih mengeluarkan karbon dioksida. Begitulah secuil materi sistem pernapasan kelas 8 Fisika yang Hana ingat sampai saat ini ketika sudah duduk dibangku SMA. Menurutnya, manusia tak lebih dari fungsi peran. Dihujani dengan berbagai informasi dari buku yang bergenre motivasi dan inspiratif yang ia baca, diksi peran itu menjadi momok baginya. Sehingga tertulis huruf kapital tebal di buku jurnalnya berbagai peran yang ia lakoni saat ini, lengkap dengan anak panah warna warni yang bercabang-cabang beserta keterangan jobdesnya masing-masing.

“Itukan udah jadi makanan kamu, Hann. Ga perlu meringis khawatir begitulah menghadapi ujian kenaikan kelas besok,” suara Sarah mengisi ruangan kamar 19 yang berantakan penuh dengan buku pelajaran, alat tulis, kumpulan kertas ulangan, laptop dan buku tulis yang berisikan rumus dan angka-angka yang berwarna terang khas dengan stabilo kuning menyala. Sarah begitu yakin dengan kemampuan serta segudang prestasi akademik yang Hana Raih sejak duduk dibangku SD.

“Hann, kamu masih ingat jawaban latihan 2 nomor 3 halaman 187 buku matematika peminatan?” lagi-lagi suara Sarah yang hanya terdengar. Padahal kamar itu dihuni oleh dua perempuan desa yang mencoba peruntungan garis hidup melalui Pendidikan formal di salah satu sekolah favorit di provinsinya. “Pikirku, Sarah lebih paham; mengerti tentangku dan tentu juga dirinya.” Tak terasa tepat pukul 23.15 kami berhasil memecahkan tiga soal yang memiliki pola hampir mirip dengan soal yang ditanyakan Sarah 15 menit lalu. “Gimana Sar, sudah benar-benar paham? apa perlu aku kasih soal satu lagi?” begitulah aku mencoba menjadi guru privat yang baik untuk Sarah yang sudah aku anggap saudara.

“Huftt, sudahi saja Hann. Semoga soal yang keluar persis kayak soal-soal yang kita kerjakan,” ketus Sarah dengan mata beratnya yang sudah muak menatap objek gersang berbentuk rumus dan angka. Hana bergumam kecil merespon “Bingung, sangat bingung, Sarah ini optimis atau pasrah dengan ketersemogaannya ya? Coba saja kalau ternyata soal ujian berbanding 180 derajat? sungguh payah daya juangnya,” sambil merapikan tata letak buku dihadapannya. 

Sudah genap dua tahun melakoni peran siswa SMA, Hana merasa sudah aman dengan prestasi akademiknya. Dia sangat tidak peduli dengan kisah kasih remaja merah jambu. Ia begitu ambisi dengan dua peran; sebagai siswa SMA juga sebagai anak. Berperan sebagai anak, Hana hanyut dalam ambisi untuk menyenangkan hati kedua orangtuanya, dengan membawa piala serta rapor yang ia dapatkan. Benar saja, dengan meraih posisi juara tiga besar di kelasnya, ia memperoleh akumulasi nilai yang sempurna setiap semesternya, dengan interval nilai yang tidak pernah turun, walau tidak begitu drastis meningkat, pun nilainya juga terhitung stabil dan konsisten. “Tak heran bukan, gadis ini merasa aman?” begitulah pandangan teman kelasnya padanya.

“Terimakasih Bu, atas arahan dan bimbingan satu tahun ini. Semoga tidak bosan ya bu ketemu saya, seperti saya yang tidak bosan bertemu Ibu,” Hana yang tidak ragu melayangkan kakinya ke ruangan yang berada di pojok lantai dua. Hana mencuri start lebih dulu dibanding dengan teman-temannya untuk berbincang dengan Bu Susan sejak kelas satu SMA. Ia merasa, baginya guru BK sangat berkompeten dalam hal memprediksi masa depan siswa dengan segudang pengalaman yang mengantarkan banyaknya senior lulus di Perguruan Tinggi Nasional (PTN) favorit Indonesia.

Hana menghentikan langkah tepat di pendopo sekolah yang sedari kejauhan Ia melihat Arka duduk melamun. “Melamunin apa sih Ka? Dalam sekali galaunya.” Arka spontan terkejut diikuti perubahan wajah yang memberikan senyum ke Hana. “Yaelah, cerita aja ga si. Kamu sedih ya Pak Kun tidak masuk ke kelas?” Hana menebak-nebak dengan mengangkat tanggannya sembari menunjuk ke depan wajah Arka persis adegan introgasi penipuan.

Jelas saja berkebalikan dengan Hana, Arka justru sangat bersyukur akhirnya ada jam kosong di hari ini. “Beruntung kamu Han, dianugerahi otak yang cemerlang selaras dengan hasil yang kamu raih. Ga pernah lari dari juara kelas, tiga besar, konsisten pula.” Arka memang hebat dalam hal menyimpan kegelisahan, Ia membungkusnya sangat apik dengan memuji Hana.

Baru kali ini Hana tidak menyukai pujian, bahkan sekalipun pujian itu dilayangkan dari seorang ketua kelasnya. Ia menolak afirmasi tentang dirinya, “Tidak selamanya aman Ka, we never know what happen later, tomorrow or next chapter!” “hanya saja aku merasa sudah sangat nyaman memainkan peran sebagai Siswa pun peran sebagai anak rantau. ” Peran-peran tadi yang membawaku hanyut berambisi dengan segudang prestasi akademik.” Tambahnya.

Arka tidak sanggup menatap ketajaman mata Hana ketika bercerita, ia mengalihkan pandangannya ke langit berwarna keabuan itu sembari bersyukur karena cuaca yang mendung ini mentakdirkannya bisa curhat berhadapan dengan sosok perempuan (cerdas yang ternyata memiliki kehangatan disetiap tindak lakunya) ataupun takdir yang menyebabkan ketidakhadiran Pak Kun mengisi kelas. Sampai-sampai ia tak mampu menerka, takdir dari dua kemungkinan yang membuat hatinya begitu senang.

“Lalu mengapa kamu terlihat seperti tidak menikmati peran yang sama denganku, Ka?” Hana membaca ketidakpuasan Arka tentang pencapaiannya; laki-laki yang sangat aktif berorganisasi, sering mengikuti lomba non akademik; seperti lomba pidato Bahasa Indonesia antar Provinsi, mengikuti event volunteer sebagai delegasi Provinsi, aktif di berbagai komunitas remaja sekolah.

“Yap, paham. Hanya saja aku beranggapan bahwa definisi adilnya tuhan, bagiku dengan tidak memberikan kemampuan yang sama pada setiap manusia.” Arka meyakini dirinya tidak termasuk bagian dari mereka yang dominan dengan otak kiri, yang hebat dengan kecerdasan matematika, fisika dan lainnya.

“Pemahamanku tentang prestasi tidak sesempit mereka yang membatasinya dengan doktrin pelabelan akademik”. Saat ini Arka tampak tidak mempedulikan lagi siapa sosok dihadapannya itu. Argumennya tidak berapi-api, tetapi berhasil membuat Hana terkesima. “Maksudmu bagaimana? Coba narasikan dengan lebih jelas lagi” Sambut Hana dengan mata yang menginginkan penjelasan yang lebih lengkap.

“Maksudku bukan meremehkan mereka yang hebat akademiknya, justru kebalikannya. Aku takjub dengan mereka yang memainkan peran sebagai siswa berprestasi, seperti halnya kamu, Hann. Namun aku juga mendefinisikan prestasi dengan makna aslinya, detailnya seperti hasil dari yang sudah diusahakan, dilakukan dan dikerjakan,” ungkap Arka.

Hana berharap tidak mendapatkan jeda dari penjelasan lawan bicaranya…

“Kembali dengan perkataanku tentang keadilan tuhan. Kamu masih ingat dengan istilah biologi homogen dan heterogen? Ya, bisa dianalogikan seperti itu. Potensi dan bakat yang heterogen ini mampu menciptakan habitat yang dekat dengan skema saling mengisi, jelasnya bukan lawan tetapi teman. Habitat dekat dengan penggambaran keadilan yang dikaruniakan tuhan. Tidak menyamaratakan dan tidak pula saling bertabrakan, tetapi saling berjalan beriringan," ungkap arka tanpa jeda.

“lalu kenapa kamu terlihat begitu cemas, seakan-akan hanya mereka yang berprestasi akademis yang berhasil?” tanya Hana penasaran.

“Yap benar, aku Cemas dengan pendefinisian prestasi di lingkungan sekitar kita Han, mereka yang membawa serta menyebarkan doktrin prestasi hanya terbatas dengan akademis saja. Tak perlu mengambil sampel terlalu jauh, malangnya Ibuku terus mengomel dan merasa anaknya tidak serius belajar karena tidak mendapatkan ranking kelas.”

Tampaknya Arka tidak bisa lagi menyamarkan apa yang sebenarnya ia ingin utarakan sejak awal.

Bagaimana? menakutkan sekali bukan? Bagaimana mereka yang tumbuh tidak dengan kecerdasan hitung menghitung? Mereka dianggap kurang beruntung, tidak dianggap mampu untuk mengukir prestasi, padahal jelas prestasi bukan melulu terkait nilai, bukan?” jelas Arka yang begitu berhati-hati sekali menarsikan diksi demi diksi agar tidak melukai pandangan Hana yang terlihat tidak sependapat dengan Arka sejak obrolan dimulai , tepatnya ketika diksi akademisi dinomor duakan.

“Menarik!, kamu baca buku apa kok bisa berpikirnya out off the box seperti ini Kaaaa? Suara nyaring juga tepukan takjub melayang tak karuan dari Hana.

Seketika itu juga Hana terenyuh dengan pemikiran ketua kelasnya itu. Ia merasa pandangannya selama ini begitu terbatas dengan frame konservatif nan kaku. Ia merasa terlalu mengkotak-kotakkan level kecerdasan dengan definisi yang terbatas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun