"Dapatkan produk A agar kulitmu menjadi putih seketika!" "Eh, kamu tambah putih ajaa, rahasianya apa sih?" "Kita perginya nanti sorean aja, kalau sekarang panas, nanti kulitku hitam."
Kata-kata di atas tentu tidak asing lagi didengar. Telah menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa kulit putih dianggap lebih cantik daripada kulit gelap. Padahal, Indonesia merupakan negara tropis yang mendapat cahaya matahari setiap tahunnya, sehingga mustahil bagi kita untuk mendapatkan kulit seputih orang Korea. Lalu, bagaimana gagasan tersebut muncul di masyarakat kita? Sebelum itu, mari kita berkenalan dengan istilah whitewashed.
Whitewashed merupakan sebuah anggapan bahwa orang yang memiliki kulit putih lebih superior daripada orang yang memiliki kulit gelap. Apakah Indonesia mengalami hal ini? Iya. Buktinya, mudah saja kita jumpai iklan produk kecantikan yang mengatakan bahwa produk mereka dapat mencerahkan kulit beberapa shade ke atas setelah penggunaan. Contoh lainnya adalah maraknya fitur filter di sosial media, yang memberikan efek putih pada pengguna dan tidak sedikit orang menggunakan filter tersebut untuk 'merasa baik' atas dirinya sendiri.
Mengapa masyarakat Indonesia sangat terobsesi dengan kulit putih meskipun secara alami, kulit bangsa Indonesia cenderung gelap? Jawaban atas pertanyaan tersebut ada kaitanya dengan era kolonialisme.
Pada masa penjajahan Belanda, muncul anggapan bahwa perempuan yang cantik merupakan perempuan dari bangsa Eropa. Tidak hanya itu, orang kulit putih juga digambarkan sebagai simbol moralitas dan memiliki pemikiran yang maju. Disusul dengan model iklan pemutih kulit yang berasal dari ras kaukasia, menjadi awal mula pemikiran bahwa orang dengan kulit putih merupakan orang yang elok.
Beda penjajah, berbeda pula pemikirannya. Setelah Indonesia dijajah Jepang, standar kecantikan bergeser. Kulit terang Asia merupakan kecantikan ideal untuk wanita Asia. Gagasan tersebut berdampak pada pemikiran rakyat Indonesia. Sehingga, masyarakat semakin mengagung-agungkan kulit putih sebagai tolak ukur kecantikan.
Setelah kemerdekaan, konsep 'cantik itu putih' tidak hilang begitu saja. Pada tahun 1998, muncul istilah cosmopolitan whiteness yang memiliki makna bahwa kulit putih dapat dicapai oleh bangsa apa saja. Istilah cosmopolitan whiteness muncul karena pada tahun tersebut, banyak sekali majalah barat yang diterbitkan di dalam negeri.Â
Salah satu majalah yang paling dikenal adalah Cosmopolitan Magazine. Pada majalah Kosmopolitan, banyak sekali artis luar negeri yang mengiklankan produk kecatikan asal negara mereka.Â
Seiring berjalannya waktu, artis-artis luar negeri juga ikut mengiklankan produk dalam negeri. Sehingga, masyarakat indonesia merasa bahwa kulit putih ras kaukasia dapat diraih dengan mudah dan kulit putih merupakan langkah awal  agar lingkungan sekitar menganggap mereka cantik seperti model-model pada majalah.
Uraian sejarah mengenai putihnya kulit, pada gilirannya membentuk beauty standart di masyarakat. Masalah yang timbul kemudian, sebagai bangsa yang merdeka, kita malah terjebak pada mindset yang justru membunuh jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Bukankah warna kulit kita yang menjadikan kita special? Bukankah warna kulit yang menjadi identitas kita? Lalu, mengapa repot-repot kita hilangkan? Bukankah keberagaman merupakan suatu hal yang perlu kita jaga dan kita banggakan?
Apakah cantik itu putih? Tidak. Cantik adalah ketika tertawa, cantik adalah ketika bahagia saat melakukan hobi, cantik adalah belajar, cantik adalah ketika bertemu kucing lalu memberi makan kucing tersebut, cantik adalah saat merawat diri untuk meningkatkan kualitas hidup, cantik adalah saat bekerja, cantik adalah saat beristirahat, cantik adalah percaya diri. Untuk menjadi cantik tidak harus putih. Untuk menjadi cantik, hanya perlu satu syarat, yaitu mencintai diri sendiri. Cantik adalah wanita Indonesia yang percaya diri.