Barangkali, cinta memang tidak pernah bisa ditulis dengan utuh. Manusia harus melarung rasa butuh, dan samudra senantiasa menyediakan tempat yang luas juga sunyi bagi siapa saja, bahkan dalam gemuruhnya.
Manusia bersitegang menggabungkan abjad-abjad lantas menyusunnya sebagai caraka: bagi hatinya. Namun, dihadapan kalimat yang murni itu, menghadang angka-angka. Kemanusiaan memiliki hitungan rumit yang selalu berkehendak menjadi tuan bagi kesenangan.
Saya teringat kisah Dostoievski, seseorang diciduk dan digiring oleh petugas pengadilan. Dalam ketidaktahuan ia dihakimi. Meja hijau yang angker dan menuduh, para juri menanyai apa kesalahannya. Memaksanya mengaku: untuk hal yang bukan sekedar ia tidak lakukan; bahkan tidak ia ketahui. Ia divonis mati. Sebelum algojo menderanya dengan keputusasaan terakhir, ia dipaksa berkata sebagai ucapan perpisahan sebagai bentuk terpenuhinya keadilan, “seperti anjing”, begitu ucapnya tanpa penekanan apapun.Pengetahuan menjadi harta termahal, namun ia sendiri seringkali gagal menyelamatkan ketidaktahuannya yang lain.
Jika cinta itu hanyalah permenungan tanpa gairah, mungkin Don Juan merupakan pemenang tunggal dalam perlombaan rasa getir: yang justru muncul dari kemanisan hasrat yang selalu berhasil.
Saya tidak bisa mengira lebih banyak, berapa jumlah cinta yang lurus, terlahir dan langsung terbakar oleh hitungan kemanusiaan yang begitu khawatir atas keberlangsungan duniawiahnya.
“Begitulah, sekali lagi, pistol Kirilov berdentum di suatu tempat di di Rusia, namun dunia terus menggelindingkan harapan-harapan butanya. Manusia tidak mengerti hal 'itu' ” tulis Camus.
mencari, persamaan warna perbedaan,
para pejuang, di ujung nadir, menunggui waktu di garis lama,
kejap-kejap yang sebentar surut pun terkembang,
dibayar dengan kehormatan, yang suaranya adalah angin malam: terasa namun tak ada,
gempita pada nanar lengkung tiada,
gugup, menikam sunyi sekenanya,
berteriak, hilang nestapa berganti cuma,
uleglee, hati-hati.., mungkin begitu seterusnya,
langkah itu tidak berubah, adalah jangkah terarah tak boleh salah,
hanya ada sedikit samar dihatinya, bahwa matahari sore dibidik mendung terlena,
titik kena, dan semua diatas meja,
sebilah mata, membedah pikiran, manusia berikut fatamorgana,
haru datang jarang-jarang,
tetapi, apalah ia, jika jangkar itu tidak lagi dipakai mengikat kapal,
dibebaskan, sementara kebahagiaan seakan terlanjur liar di awang-awang,
sesekali digenggam, dan tidak akan dilupakan,
walaupun waktu melewati hidungnya, dan keadaan sudah memanggilnya sebagai masa lalu,
para pejuang, di ujung nadir, menunggui waktu di garis lama,
kejap-kejap yang sebentar surut pun terkembang,
saksikanlah, bahwa senyum itu telah terukir di mulut kayu yang seringnya tampak bisu.
Saya terkenang, mawar-mawar bermekaran, di bukit yang sejuk. Halimun pagi dan kantuk-kantuk yang tertahan bermalam-malam. Tahunan dalam diam. Mawar-mawar yang tengadah menatap matahari, menancapkan sekali keyakinan diri, bahwa kehidupan di pinggiran kali lebih menentramkan dibanding gelak tawa tanpa makna. Mawar-mawar, yang tak pernah murung sekalipun dicibir zaman. Menatap penuh kasihan manusia yang tidak memiliki apapun kecuali uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H