[caption id="attachment_277312" align="alignnone" width="300" caption="doc:kamartikusisme"][/caption]
Seperti apakah rupanya, jika wajah kita dihadapkan kepada gesekan, antar hati nurani. Di tengah samudra kasih sayang yang hingar bingar. Marah yang harus diperdengarkan, demikian juga cinta yang harus terkatakan. Semua didatangkan bersamaan.
Gelisah yang menuntut. Pembebasan, deru jawab yang bersaut-saut. Alam fikir dibuka paksa melebar. Membuatkan sebuah jalan, bagi nyeri.
Adakah gelora matahari pada pagi, pada cahaya dan embun yang bertengger di kuncup rumput pinggiran jalan, semerdu itukah amarah. Pada cinta. Pada rindu yang menjadi badai karena sering dipertemukan oleh persoalan, hidup yang terus menolak keselesaian. Berakhir dengan mengawali hal baru. Kecemasan yang menusuk. Haruskah kita menghindar? Dengan batu yang masih di saku baju, di dada, menyembul di jantung. Ingin dilemparkan, tetapi kepada siapa. Semua ternyata masih saudara. Satu atap dalam cinta.
Berangsur jalanan berkabut itu melebar, sempit yang sirna oleh diam. Diantara bisu yang didendangkan dalam hari-hari, bisu yang diselipkan diantara pembicaraan mulut yang mencoba saling menerka. Pertengkaran kemarin bukanlah yang terakhir. Masih akan ada pertempuran yang lebih berdarah. Hal itu berarti bahwa jalan damai masihlah ada. Antara perasaan yang siap menusuk. Sekeji itukah adu mulut? Kita bertengkar demi dan untuk apa? Prinsip yang sebenarnya samar. Ataukah justru pembuktian kesadaran akan kasih sayang yang berlebihan. Terseok menahan ngilu dan nyeri.
Jabat tangan yang hanya bermakna seperti meja makan, menghidangkan kegembiraan untuk habis ditelan. Saling menyentuh dengan senyum parau yang diperhalus dengan bisikan cinta. Kepura-puraankah?
Duduk bersandar, pada kursi tua yang banyak menyimpan cerita lama, bagaimana manusia itu saling bertemu. Adalah ingatan itu seperti buku dalam bayang-bayang. Yang bersedia dibangunkan kapan saja. Tak terlihatkah rona hitam di jalanan yang tergenang air hujan, dalam sendu sorot rembulan sabit yang nyaris seperti berdo’a. Menceritakan sebuah kisah, ketika manusia mulai berlajar membaca. Mengeja aksara, yang terlihat melengkung karena mata yang belum biasa.
Apa yang kita cari dalam kepala yang menunduk karena murka?
Apa yang ingin kita tinggalkan dari sederetan tata lampu nafas yang menubuh pada diri?
Adakah tangis akan seperti malam, yang hening dalam dingin yang tak jelas?
Dan adakah rindu akan kembali bercahaya, seperti kunang-kunang yang tak hilang di tengah sorot ribuan watt?
Membujur kemana diri kita?
Siapa yang telah kita tikam? Jantung siapa yang telah kita makan?
Berpura-pura takut hanya wajar diutarakan kepada musuh-musuh kita!! Betapa sadis jika berbohong dengan raut muka itu dilontarkan terhadap ikatan darah.
Betapa tak bersihnya diri kita? Betapa tak terjawabnya pertanyaan ini, setelah semuanya… Setelah semuanya selesai kita habisi kenangannya.
“Psychology of Blood”
04 October 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H