Mohon tunggu...
Ragil WIrayudha
Ragil WIrayudha Mohon Tunggu... Freelancer - melihat, mencatat dan mengingat

Hidup hanya sekali namun sejarah akan mengingatmu selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Badut, Sindiran Sejarah yang Tak Berubah

3 April 2020   22:08 Diperbarui: 3 April 2020   22:24 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.com › bkuraparthi

Abad 17, tatkala kelucuan di Amerika kian sukar ditemukan, pemain sirkus pun getol meringkas bentuk-bentuk stimulan cekikian,  lahirlah Badut. Dan Rice, dengan kostum serba bendera Amerika dan jenggot panjang, selalu tampil bersama hewan peliharaannya, seekor Babi bernama Lord Byron.

Apa yang membuat lucu dari persektuan Babi Manusia itu? Bahwa Dan Ride melatih si Babi untuk merespon sejumlah pertanyaan tertentu dengan isyarat mendengus. Begitulah dialog Babi Manusia yang sukses membidani orang-orang untuk tertawa di sirkus tahun 1800an.
 .
Seiring zaman yang kian menua dan semakin menggandrungi kelucuan, Badutpun hadir tidak saja disekitar tenda-tenda hiburan pekanan, mereka sudah masuk kedalam rumah-rumah mewah, taman-taman, bahkan selebrasi perkantoran. 

Badut terjun langsung dalam mengawal pertumbuhan sebagian anak-anak, bagi yang merayakan hari lahir, setidaknya Badut akan diundang setahun sekali. Dilematis, Kemajuan bagi Badut, kemunduran akal budi, sisi lain peradaban manusia yang memilih mundur tenggelam bersama eforia nirmakna.

Abad 19, menjadi Badut bukanlah hal susah, mudah dibeli kostum yang dimodifikasi melayani selera kelucuan pasar, siapa saja bisa menjadi Badut jika mau. 

Dengan topeng tentunya. Begitulah, sejak ranjau ditemukan, infantery tidak bisa lagi bergerak bebas. Lalu, diciptakanlah berbagai alat anti ranjau, bahkan seekor Tikus sengaja dilatih mengendus: bukan hal mudah mencium Amatol yang terbungkus logam. 

Dalam kancah persaingan Badut memiliki nilai tawar tersendiri dalam menjual berbagai layanan. Muncullah pembunuh bertopeng ala Badut, mengerikan. 

Denyut kelucuan dalam Badut mulai bergeser menjadi satu pernyataan zaman bahwa dalam perang, semua perilaku bisa digunakan sebagai senjata. Kemolekan tubuh, ketrampilan diplomasi, drama kehidupan, apa saja. Namun satu yang tidak berubah, Badut tetaplah Badut, menjual jiwa untuk dunia, membunuh hati demi kelucuan, membakar kehormatan untuk kekuasaan.

Jumlah Singa sirkus kian berkurang. Satu tanda besar, bahwa Singa tak berubah dari zaman ke zaman. Keberanian dan Kesunyiannya hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang ahli, manusia seperti itu kian langka saja. Sebaliknya, pertumbuhan jumlah Badut semakin besar, bahkan plakat-plakat jasa Badut ada di pagar dan pohon-pohon.

Menjadi Badut atau menjadi Singa bagi seorang Manusia adalah pilihan dan hasil didikan pergaulan. Badut bisa saja mengaum, namun suaranya tidak menggugah apapun melainkan bahan tertawaan. Sedang diamnya Singa tidak lantas menjadikan ia ditendang-tendang.

Butuh tahunan waktu untuk mengambil jiwa Singa dalam Diri. Tapi untuk menjadi Badut, barangkali zaman ini hanya butuh satu tiga detik berdiri didepan cermin. Jangan habiskan waktu untuk menguliti siapa mereka, karena diri sendiri jauh lebih layak untuk diberi makna.
 .
 Nas'alullah as salamah wal 'afiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun