Mohon tunggu...
Ragil WIrayudha
Ragil WIrayudha Mohon Tunggu... Freelancer - melihat, mencatat dan mengingat

Hidup hanya sekali namun sejarah akan mengingatmu selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Albert Einstein: Hakikat Nilai dari Ilmu

27 September 2010   09:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:55 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

REKAN-REKAN YANG MUDA BELIA

Saya merasa sangat bahagia melihat Anda semua di hadapan saya. Sekumpulan orang muda yang sedang mekar yang telah memilih bidang keilmuan sebagai profesi.

Saya berhasrat untuk menyanyikan hymne yang penuh puji, dengan refrein kemajuan pesat di bidang keilmuan yang telah kita capai, dan kemajuan yang lebih pesat lagi yang akan Anda bawakan. Sesungguhnya kita berada dalam kurun dan tanah air keilmuan. Tetapi halini jauh dari apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan. Lebih lanjut, saya teringat dalam hubungan ini kepada seorang muda yang baru saja menikah dengan seorang istri yang tidak terlalu menarik dan orang muda itu ditanya apakah dia berbahagia atau tidak. Dia lalu menjawab “Jika saya ingin mengatakan yang sebenarnya, maka saya harus berdusta”.

Begitu juga dengan saya. Marilah kita perhatikan seorang Indian yang mungkin tidak beradab, untuk menyimak apakah pengalaman dia memang kurang kaya ataukah kurang bahagia dibandingkan rata-rata manusia yang beradab. Terdapat arti yang sangat maknawi dalam kenyataan bahwa anak-anak dari seluruh penjuru dunia yang beradab senang sekali bermain meniru-niru Indian.

Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Jawaban yang sederhana adalah – karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar.

Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjegal. Dalam perdamaian dia membikin hidup kita dikejar-kejar waktu dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin, dimana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual, dan harus terus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan yang tak seberapa. Kamu akan mengingat seorang tua yang menyanyikan sebuah lagu yang jelek. Sayalah yang menyanyikan lagu itu, walau begitu, dengan sebuah itikad, untuk memperlihatkan sebuah akibat.

Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu meningkatkan berkah manusia. Perhatian pada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda – agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan.

Janganlah kau lupakan hal itu di tengah tumpukan diagram dan persamaan.

(1938)

===

yang tertulis di atas adalah pidato Alber Einstein di hadapan Mahasiswa California Institute of Technology.

di salin utuh dari buku Ilmu dalam Perspektif karya Jujun Suriasumantri.Jakarta.1989.Gramedia.

==simak juga Albert Einstein di mata FBI

Part 1a Part 1b Part 2a Part 2b Part 03 Part 04 Part 05 Part 6a Part 6b Part 7a Part 7b Part 08 Part 9a Part 9b

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun