Mohon tunggu...
Satyo Hantoro
Satyo Hantoro Mohon Tunggu... profesional -

Terkadang, beberapa orang di planet ini benar-benar menentukan segalanya. Satu persen dari satu persen. Fungsi mereka setara dengan Tuhan.....

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Kutukan Itu Terjadi Lagi!

19 Juni 2014   17:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:08 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sergio Busquets / kompas.com

La Furia Roja kembali menelan kekalahan di partai kedua Piala Dunia 2014 ini. Setelah di partai pembuka mereka digasak Belanda dengan skor telak, 5-1, kini di pertandingan kedua, disaat banyak orang mengharapkan kebangkitan Spanyol, ternyata tim asuhan Vicente del Bosque itu kembali menelan kekalahan.

Menghadapi Chile di laga kedua grup B, Xabi Alonso dkk kalah 2-0 oleh sepasang gol dari Eduardo Vargas di menit 20 dan Charles Aranguiz di menit ke 43. Tim Matador pun harus menjadi tim kedua yang harus angkat koper menyusul Australia yang beberapa jam sebelumnya juga takluk dari Belanda lewat pertandingan dramatis yang berakhir dengan skor 3-2.

Disini saya tidak akan menyoroti bagaiamana taktik dan strategi kedua tim yang bertanding. Apa yang akan saya kupas adalah mitos kutukan yang menimpa para juara bertahan Piala Dunia yang kandas di edisi berikutnya, yang ironisnya selalu gugur di babak grup. Saya mengambil contoh mulai dari Perancis, juara bertahan tahun 1998, karena memang saya baru ngeh sepak bola event besar di tahun tersebut.

Mitos ini memang terputus di Brasil, saat mereka mampu menjuarai Piala Dunia tahun 2002 dan pada edisi 2006 Tim Samba berhasil melaju hingga perempat-final sebelum dikalahkan oleh Les Blues Perancis, tapi mari kita urutkan dari tahun 1998 saat Perancis menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Bermain di rumah sendiri, Tim Ayam Jantan yang saat itu diisi oleh pemain-pemain berkelas, dan bahkan mereka disebut sebagai generasi emas Perancis, macam Zinedine Zidane, Youri Djorkaef, Lilian Thuram, Didier Deschamps, Laurent Blanc dan Fabien Barthez sebenarnya tidak begitu diunggulkan. Mereka memang diprediksi akan melaju jauh, tapi tidak sampai merengkuh gelar juara, karena saat itu Jerman, Belanda dan Italia juga sedang menuai bibit baru generasi emas mereka. Tapi ternyata takdir berkata lain. Partai final di Stade de Princes, Paris menjadi saksi bisu bagaiamana hebatnya anak asuhan Aime Jacquet menghancurkan Brasil dengan skor 3-0, lewat dua gol dari Zidane dan satu gol dari Emmanuel Petit. Euforia membuncah, Perancis dengan Zinedine Yazid Zidane-nya menjadi contoh sepak bola indah dan dijagokan akan mempertahankan gelar di Korea-Jepang. Tidak mengherankan memang karena saat itu pun, di tahun 2002, Perancis kembali melahirkan bintang-bintang muda yang sudah dipersiapkan sejak 1998. Thierry Henry, David Trezeguet, Sylvain Wiltord, Vincent Candela, Claude Makelele dan Mikael Silvestre saat itu sudah tergabung bersama Zidane, Alain Boghossian dan Stephene Guivarch dari generasi 98. Ditambah lagi pada tahun 2000 mereka juga berhasil merengkuh gelar Piala Eropa, semakin lengkaplah predikat unggulan untuk Les Blues saat itu. Tapi, prediksi tetaplah prediski, kenyataan di lapangan sungguh berbeda dengan analisa, oleh para pakar sekalipun.

Berada satu grup dengan Uruguay, Denmark dan Senegal, Perancis diprediksi akan lolos sebagai juara grup, dan posisi kedua akan menjadi rebutan antara Uruguay dan Denmark. Tapi apa daya, Perancis yang di pertandingan pertama ‘hanya’ menghadapi Senegal justru tunduk lewat gol tunggal Papa Bouba Dioup. Di partai kedua Henry dkk ditahan Urugay 0-0 dan di partai terakhir kembali dihajar oleh Tim Dinamit Denmark 2-0, lewat gol dari Dennis Romedhal dan John Dal Tomasson. Ironis, jika tidak ingin dikatakan memalukan, karena selain harus tersingkir dari penyisihan grup, Perancis juga tidak mampu mencetak sebiji gol pun...!!!!

Apa yang dialami Italia di Afsel 2010 memang tidak separah Perancis di Korea-Jepang, tapi tetap saja ini merupakan tragedi pahit bagi sepak bola Italia. Dipayungi skandal calciopoli saat berangkat ke Jerman pada 2006, Italia justru menjadi raja di tanah Bavaria. Mengandalkan pemain-pemain yang cerdas seperti Andrea Pirlo, Alessandro Del Piero, Fabio Grosso dan kapten Fabio Cannavaro, Gli Azzuri berhasil membelokkan prediksi orang yang lebih menjagokan tuan rumah Jerman, Brasil atau Inggris yang saat itu sedang dihuni punggawa-punggawa hebat. Diwarnai dengan kejadian Zidane yang menanduk Marco Materazzi, Italia berhasil mengandaskan Perancis lewat adu pinalti di Olympiastadion.

Apa yang terjadi empat tahun kemudian?

Italia masih dianggap berkelas, karena sama seperti Perancis 2002, Italia setidaknya mampu lolos dari grup neraka pada Euro 2008, meskipun akhirnya kalah adu pinalti dari Spanyol di babak 8 besar. Di Afsel 2010, Italia tergabung di grup F bersama wakil Amerika Selatan, Paraguay, wakil Oceania, Selandia Baru dan sesama wakil Eropa, Slowakia. Tentu saja Daniele De Rossi dkk dianggap mampu menjuarai grup untuk bersanding dengan Paraguay lolos ke 16 besar. Well, kenyataannya tim asuhan Marcello Lippi tersebut harus menghuni posisi juru kunci grup F. Bermain imbang 1-1 melawan Paraguay di partai perdana, tren Italia justru menurun di laga berikutnya. Kembali imbang melawan Slowakia dengan skor identik, di pertandingan pamungkas, dimana Italia dituntut untuk menang, mereka justru kalah secara mengejutkan dari Selandia Baru dengan skor 3-2. Sontak saja ini mengejutkan dunia sepak bola, bukan saja karena kembalinya mitos kutukan terhadap juara dunia, tapi juga melempemnya lini tengah Italia yang saat itu dianggap sebagai salah satu yang teraik di dunia. Tapi dari sinilah era baru permainan sepak bola lahir, ya konsep tiki-taka yang diusung Spanyol berhasil merajai dunia dengan permainan cantik dan menghibur.

Tapi sekarang, ‘kutukan’ itu kembali hadir. Tak peduli seberapa indah Spanyol memainkan bola di lini tengah, tak peduli seberapa besar prosentase penguasaan bola Spanyol disetiap laga, tak peduli betapa sering Spanyol mengurung pertahanan lawan, yang jelas Arturo Vidal dkk sudah berhasil memulangkan Spanyol lebih awal dari ekspetasi kebanyakan orang. Apakah ini terkait dengan suramnya prestasi Barcelona, sebagai pengusung awal konsep tiki-taka, di musim ini..??

Yang pasti Piala Dunia 2014 harus rela kehilangan dalam tempo singkat salah satu negara yang selalu bermain menghibur di setiap laga. Brasil 2014 terlalu cepat berlalu untuk Xavi Hernandez, Iker Casillas, Cesc Fabregas dan Diego Costa.

Sampai jumpa empat tahun lagi La Furia Roja....!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun