Tulisan ini berisi sebuah cerita kisah nyata dan bukan bermaksud untuk mempromosikan salah satu merk obat pencahar perut yang ada di pasaran. Â Akan tetapi agar cerita ini dapat ditangkap sepenuhnya oleh yang membacanya, maka merk tersebut saya sebutkan dengan terang-terangan.
Mempunyai gerombolan teman yang suka bicara ceplas ceplos memang ada suka dan dukanya. Hal ini saya alami ketika bergabung dengan sebuah WAG yang isinya teman-teman mantan jurnalis kampus yang berbeda generasi dan angkatan. Mereka memiliki karakter, latar belakang, sosial, pendidikan dan ekonomi yang berbeda-beda, bahkan ada yang belum pernah bertemu secara tatap muka.Â
Seringkali di grup ini muncul candaan dan bully-an kelewat batas, bahkan silang pendapat tak pelak sering terjadi. Bahasan diskusi pembicaraan politik, kesehatan, ekonomi dan masalah keluarga sering diutarakan dalam grup ini. Cuma ada satu hal yang membuat saya agak kaget, walaupun saya seringkali dibully tapi saya masih bisa menahan rasa jengkel, kecuali satu hal ini.
Cerita ini berawal dari teman saya yang lagi kesusahan karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sehingga usahanya harus tutup sementara. Kebetulan teman ini satu WAG dengan teman-teman mantan jurnalis tersebut. Dia meminta saya untuk menemani melakukan negosiasi agar bisa menyelesaikan masalahnya tersebut (masalah tersebut tidak bisa saya ceritakan karena bersifat rahasia). Latar belakang saya sebagai mediator perselisihan yang tersertifikasi membuat dia percaya pada agar saya membantu dia dalam permasalahannya itu.
Singkat cerita, negosiasi berjalan lancar dan membuahkan hasil yang cukup positif walaupun masih belum selesai sepenuhnya karena harus menunggu keputusan final selanjutnya.
Walaupun begitu teman saya ini cukup senang, dan ia mengajak saya untuk makan sebagai imbalan atas jasa bantuan yang telah saya berikan. Kami pun akhirnya sampai di sebuah rumah makan dan memesan makanan untuk kami bawa, untuk kemudian kami makan di luar dan tentunya dengan menerapkan physical distancing.
Pada saat sedang menunggu pesanan, secara iseng-iseng teman saya ini melakukan swafoto bersama. Cuma masalahnya saya belum siap dengan pose yang layak untuk swafoto akhirnya hasilnya asal-asalan. Terlihat mimik wajah saya terlihat melas dan melankolis, tapi ya tetap saja teman saya ini share hasil foto tersebut dalam WAG mantan jurnalis kampus itu. Alhasil tak berlangsung lama foto itu mendapatkan bully-an dari para anggota WAG itu.
Selang waktu kemudian foto saya pun ada yang edit dengan memberikan garis berwarna cerah di sekitar pipi, seakan-akan sedang menangis. Bahkan ada yang yang menyahut, "Emoh iso senep malahan bendino nyawang kui." (bisa sakit perut kalau lihat foto itu setiap hari).
Wah secara emosional saya masih bisa maklum, karena memang begitulah kelakuan para anggota WAG ini yang seringkali mengeluarkan pernyataan tanpa mengindahkan perasaan  orang lain.
"Dulcolax lewat," lanjutnya . Waduh! Wajah saya dibandingkan dengan merk obat pencahar yang ada di pasaran. Ha..ha..! Saya ketawa dalam hati walaupun agak jengkel jugaÂ