Mengenal kehidupan sosial dan gaya hidup di era sebelum kita lahir atau  di saat kita sudah lahir adalah sesuatu hal yang penuh keasyikan tersendiri, kalau kita mau menekuni dan memperhatikannya.Â
Akan tetapi seringkali kita tidak  peduli memperhatikan akan perubahan sosial dan gaya hidup yang ada. Mungkin karena kita masih asyik dengan dunia remaja atau dunia anak muda saat itu sehingga hal itu luput dari perhatian.
Myra Sidharta atau dikenal juga Tante Moy, seorang lulusan Psikologi dari Negeri Kincir Angin, Belanda, dengan telaten telah menangkap perubahan gejala kehidupan sosial di eranya dalam bentuk tulisan-tulisannya yang bergaya feature dan bertutur.Â
Hasil karya tulisnya itu banyak dimuat oleh media massa seperti The Jakarta Post, Koran Kompas, Mutiara, Matra dan lain sebagainya. Memasuki di usianya yang senja, dia mendapatkan tawaran untuk menyatukan karya-karya tulisnya yang tersebar di beberapa medi massa tersebut menjadi sebuah buku.
Karya tulisnya itu dibukukan  dalam buku kumpulan karya tulis esai Myra Sidharta,  berjudul Seribu Senyum dan Setetes Air Mata yang diterbitkan oleh PT. Kompas Media Nusantara pada tahun 2015. Buku tersebut setebal 328 halaman yang berisi esai-esainya  dan dibagi dalam beberapa bab berdasarkan topik dan tema  yang sama, sehingga pembaca bisa membacanya dengan runtut.
Dalam bukunya yang diawali dengan cerita sosok perempuan bernama Ibu Hisnat Suryomiharjo, yang pernah hidup dan mengenyam pendidikan di Kweekschool pada jaman kolonial Belanda. Ada suatu dialog menarik dalam bab itu antara Ibu Suryo dengan gurunya yang berkebangsaan Belanda.Â
Dalam dialog tersebut, Ibu Suryo sedang mengikuti ujian sekolah dan pada saat itu  dia kaget dan heran karena sang guru ini menutup matanya. Ia menanyakan mengapa gurunya menutup mata, gurunya menjawab bahwa dia tidak boleh mengetahui kalau sedang menguji seorang bumiputera.Â
Jadi dia menutup matanya dan memberikan pertanyaan lisan kepada Ibu Suryo, sehingga dengan begitu ia tidak mengetahui kebangsaan murid yang diujinya.Â
Hal itu wajar karena jaman itu ada perintah tidak tertulis untuk mempersulit kalangan non-Belanda untuk lulus dalam  ujian sekolah, sehingga guru yang bijak ini sengaja menutup matanya dan menilai hasil ujian berdasarkan jawaban, bukan berdasarkan pada ras dan garis keturunan.
Ada juga esai yang menceritakan kehidupan sosial para istri konglomerat  dan sosialita jaman tahun 1990-an, yang mana mereka harus hidup di bawah bayang-bayang suaminya. Menjaga citra sang suami dengan berpenampilan menarik dan seringkali memakai gaun buatan luar negeri bahkan beberapa di antara mereka meminjam gaun dari temannya untuk dibawa ke penjahit dan membuat tiruannya.Â
Esai-esai dalam buku ini cukup menarik dan bisa memberikan pengetahuan baru bagi generasi yang lahir pada tahun akhir era 1990-an dan awal tahun 2000-an .Â