Beberapa hari yang lalu, saya membuka situs Kompasiana, seperti biasa pertama kali yang saya buka adalah bagian lini masa. Terlihat sebuah artikel yang ditulis oleh Pak Tjiptadinata Effendi yang berjudul Biar Miskin Asal Bahagia, Benarkah? Sebuah tulisan yang berkesan dari sudut pandang pribadi saya, karena tulisannya dibuat berdasarkan pengalaman beliau sendiri.  Dalam tulisannya itu ia membuat sebuah daftar, mengenai apa yang ia alami ketika pernah mengalami keadaan miskin. Daftar tersebut saya kutip  dari artikelnya dan dapat dilihat dibawah ini:Â
- Tinggal di pasar kumuh
- kedai merangkap tempat tinggal
- Ditempat tidur, kecoa dan tikus merayap
- Anak dan istri sakit ,tidak ada uang untuk biaya berobat
- Aliran listrik diputus Pln,akibat  menunggak berbulan bulan
- Demi sebungkus nasi harus berhutangÂ
- Sandal jepit putus, tidak ada uang beli gantinya
- Seluruh pakaian layak pakai sudah dijual
- Bila  hujan lebat.air selokan menggenangi seluruh ruangan
- kami hanya bisa naik keatas meja dan saling berpelukan
- Anak menangis kelaparan, tapi sungguh tidak ada uang lagi
- Kejadian ini berlangsung bertahun tahun
Terkait dengan slogan yang pernah saya dengar "Miskin asal bahagia!". Saya pernah mendengarkan di sebuah stasiun radio beberapa tahun yang lalu , Tung Desem Waringin berbicara mengenai kemiskinan dan pendapatnya hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Pak Tjiptadinata. "Orang miskin tidak bahagia, kalau nggak percaya coba saja jadi miskin", kira-kira begitu yang saya ingat perkataannya waktu itu. Cuma bedanya Tung Desem Waringin saya rasa belum pernah mengalami kehidupan miskin se-ekstrim Pak Tjiptadinata, jadi perkataannya waktu itu kurang mengenai bagi saya.
Dalam teori Abraham Maslow diungkapkan bahwa dalam teori Hierarki Kebutuhan terdapat lima hierarki kebutuhan manusia yaitu :
- Kebutuhan fisiologis atau dasar
- Kebutuhan akan rasa aman
- Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
- Kebutuhan untuk dihargai
- Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Teori ini mengusulkan agar seseorang bisa memenuhi kebutuhannya dengan cara bertahap dari kebutuhan dasarnya dahulu. Baru setelah itu bisa meningkatkan atau fokus kepada kebutuhan lainnya.Â
Setelah membaca apa yang telah dialami oleh Pak Tjiptadinata dan menghubungkan dengan teori Abraham Maslow, maka saya semakin menyadari bahwa hidup dalam kemiskinan tapi bahagia, itu adalah suatu pemikiran yang naif. Apabila kebutuhan dasar fisiologis manusia belum terpenuhi (makan, minum, kesehatan, dll) sulitlah kebahagian itu akan diraih.
Merubah Pola Pikir Miskin  Tapi Bahagia ke Sederhana Tapi Bahagia.
Ada sebuah status yang saya temukan di Facebook, seserang yang bernama Christina Lie yang menuliskan pendapatnya mengenai keberuntungan (luck) sebagai berikut :
Luck is believing that you are lucky selalu menemukan hal untuk disyukuri setiap hari (bukan disukurin ya!) dan tentunya pikiran yang positif bahwa hari esok akan lebih baik dari hari ini.
Dari statusnya tersebut termaktub sebuah maksud, bahwa apapun itu bisa jadi adalah keberuntungan kita. Asalkan kita mau bersyukur pada apa yang kita dapat atau punyai saat itu. Contoh konkritnya kebiasaan orang Jawa yang selalu bersyukur walaupun dalam keadaan sulit, misalnya seseorang yang mengalami tabrakan kecil di jalan, Â tapi ia masih tetap mensyukuri karena ia masih selamat walaupun mobilnya sedikit penyok. Contoh lainnya mensyukuri rejeki yang kita dapat walaupun tidak seperti yang kita harapkan.
Merubah pola pikir bahwa rejeki itu tidak  melulu berbentuk uang. Ini yang menjadi salah kaprah, sering kali rejeki itu diidentikkan dengan uang, jadi seseorang dianggap mendapatkan rejeki kalau ia mendapatkan uang, entah dari mana asalnya. Sebenarnya rejeki itu bisa berupa banyak hal, misalnya memiliki teman yang baik, ada tempat untuk bernaung, mendapatkan kiriman makanan, dan lain sebagainya. Rejeki itu bisa berbentuk apa saja dari berbentuk materi atau pun berupa jasa baik yang kita terima dari orang lain.
Ikut senang melihat orang lain senang, itu juga adalah salah satu cara merubah pola pikir menjadi sehat. Saya pernah mendengar sebuah ungkapan  Gede Prama di sebuah rekaman Compact Disk, ketika menjadi pembicara di sebuah acara. "Orang Indonesia itu sering terjangkit penyakit SMS", kata beliau. Kemudian dia menerangkan bahwa penyakit SMS itu adalah Susah Melihat Orang Lain Senang. Seringkali orang  selalu nyinyir ketika melihat orang lain sedang mengalami kegembiraan karena sesuatu hal, contohnya ada tetangga membeli mobi baru tetapi tetangga lainnya selalu berkomentar negatif mengenai mobil itu. Entah mobil itu merknya murahan, tipenya jelek atau bahkan menduga si empunya mobil mendapatkan rejeki dari nuyul. Â
Terus apa hubungannya hal-hal yang telah diungkapkan di atas dengan mengubah pola pikir miskin tapi bahagia menjadi sederhana tapi bahagia. Hubungannya adalah selalu bersyukur pada apa yang kita punyai dan tidak perlu iri dengan orang lain karena harta dan materi. Â Hidup miskin janganlah, Â tapi hidup sederhana dan selalu bersyukur, tidak iri dengan orang lain, mau berbuat baik itulah perbuatan yang akan merubah pola hidup sederhana menjadi bahagia. Tidak serakah dan selalu bersyukur karena sudah tercukupi kebutuhannya. (hpx)