Saya selalu takjub tatkala membaca berulang-ulang puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Entah mengapa seperti ada sebuah ikatan bathin antara puisi-puisi gubahan beliau dengan saya. Puisi-puisinya seperti memiliki roh tersendiri dalam tiap kata, larik, dan baitnya. Sejujurnya sebagai seorang pengagum, saya ini termasuk pengagum baru. Karena baru beberapa tahun saja saya mengenal karya-karyanya.
Boleh jadi Indonesia sudah banyak sekali melahirkan para sastrawan dan pujangga yang melegenda. Yang karya-karyanya melanglang buana serta mencuri perhatian dunia. Namun hanya sedikit yang mampu menarik perhatian saya. Dan itulah sebabnya, mengapa karya-karya puisi Sapardi Djoko Damono teramat spesial dan memiliki estetika tersendiri bagi saya. Pada puisinya, saya percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada.
Puisinya mampu mencuri hati saya ketika untuk pertama kalinya saya membaca karyanya. Saya masih ingat betul, puisi beliau yang pertama kali saya baca adalah puisi minimalis yang berjudul Aku Ingin. Sebuah puisi tentang cinta yang sederhana. Bagi Anda yang belum pernah membacanya, saya sarankan untuk membeli bukunya atau mencarinya di penelusuran google, karena puisi yang berjudul Aku ingin ini sangatlah terkenal dan banyak dibahas di internet. Bahkan saya yakin semua orang tidak akan keberatan jika puisi beliau ini saya kultuskan sebagai masterpiece.
Kembali pada perkenalan saya pada puisi beliau, sebagaimana puisi-puisi yang pernah saya baca sebelumnya, puisi beliau sangatlah berbeda. Apa ya, sangat susah untuk dijelaskan. Diksi dalam setiap puisinya serupa sihir, sangat-sangatlah sederhana, jauh dari kesan yang berlebihan namun memikat. Puisi-puisi beliau sangat minimalis dan apa adanya, tak ada yang ditutup-tutupi. Mungkin atas dasar itulah, saya sebagai orang minimalis yang tergila-gila dengan kesederhanaan, jadi kepincut dengan karya-karya beliau yang sederhana ini. Karyanya cenderung tidak hiperbiolis, setiap katanya seperti mempunyai sebuah nyawa keteraturan, diksinya begitu manis, dan meleleh seketika tatkala terbaca.
Saya serasa masuk kedalam tiap romantisme larik dan bait puisinya, tenggelam dalam lorong waktu menembus batas, seolah duduk disana dan menjadi saksi. Bagi saya, Kata-katanya yang sederhana justru membawa sebuah kemewahan tiada tara, menerbangkan angan. Tidak perlu kata-kata yang muluk, kesederhanaan senantiasa menjalankan tugasnya dengan baik, semerbak dan mewah. Mungkin itu sebabnya ilmuwan sekaliber Albert Einstein pun pernah mengatakan bahwa jika Anda tidak bisa menjelaskan segala hal secara sederhana, maka Anda belum cukup memahaminya.
Bahkan Leonardo da Vinci, seorang seniman renaisans pun pernah mengatakan dalam beberapa kutipannya, bahwa kesederhanaan adalah sebuah mahakarya kesempurnaan. Kesederhanaan dan minimalisme merupakan sebuah kecanggihan tertinggi. Anda bisa pegang kata-kata saya! Jika suatu hal atau barang yang sifatnya rumit, ruwet, dan tidak simple, pasti tidak canggih, apapun itu.
Sudah menjadi hukum alam bahwa kesederhanaan selalu bersifatnya intuitif, selalu menjalankan tugasnya dengan baik tanpa ada tedeng aling-aling. Puisi-puisi minimalis karya beliau laksana sebuah sihir yang siap menghipnotis para pembacanya masuk untuk menyelami kedalaman makna dan rasa yang melenakan serta memabukkan.
Menurut saya orang-orang sekelas Sapardi Djoko Damono ini sangat sulit dicari bandingannya, karena sangat jarang ada seorang penulis yang mempunyai kemampuan simplisitas diksi dalam menulis puisi. Bahkan untuk urusan menulis puisi, beberapa orang kerap kali menggunakan diksi yang terlalu muluk, dengan bahasa tingkat tinggi yang meliuk dan mendayu-dayu, seolah-olah ingin mengatakan bahwa puisi ini saya buat dengan kata & tata bahasa yang syarat akan kompleksitas, rumit, dan intelek. Sayang sekali, kebanyakan puisinya justru jatuhnya sangat dangkal dan tidak estetis.
Dari sanalah, saya banyak belajar bahwa menulis puisi dengan bahasa yang sederhana nan membumi pun, tetap bisa dinikmati oleh semua lapisan pembaca. Mungkin lewat kesederhanaan kata itulah, puisi-puisi beliau jadi terkesan lebih tulus, dan justru menjanjikan sebuah kadar kejujuran yang murni adanya, tanpa dibuat-buat (Less Is More). Dulu, saya juga sesekali menulis puisi, tapi setelah membaca karya-karya Sapardi, saya bersedia angkat topi dan berkomitmen untuk tidak menulis puisi lagi.
Hantodiningratâ„¢ | Minimalist Blogger | Kompasianer | www.hantodiningrat.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H