Mohon tunggu...
Hantodiningratâ„¢
Hantodiningratâ„¢ Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Minimalist Blogger

hantodiningrat.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Bahagia Tanpa Harus Mencari Validasi

13 November 2015   07:12 Diperbarui: 13 November 2015   07:12 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hari ini hampir semua orang berusaha untuk mengabarkan kepada banyak orang di seluruh dunia tentang kehidupannya. Gejala ini ditandai atau kian marak lantaran banyaknya fasilitas penunjangnya. Akan berbeda halnya dengan zaman dulu, dimana sebuah alat komunikasi masih sangat terbatas pada alat-alat komunikasi konvensional yang sifatnya tidak lebih dari sekedar pemberi kabar berita akan keadaan. Hari ini dunia sudah berubah sedemikian cepatnya tanpa kita sadari.

Kita bisa berkomunikasi dan berjejaring dengan sedemikian cepat dan dekatnya. Seolah-olah dunia berada tak jauh dalam genggaman kita. Belum lagi dengan adanya perkembangan teknologi seperti sosial media, yang kian hari kian mempermudah manusia modern dalam menyalurkan hasrat aktualisasi diri. Di sosial media, semua orang bisa menjadi siapa saja, sesuai apa yang ia kehendaki. Kita semua bisa menampilkan citra apapun, selama kita mau berusaha membangun citra tersebut.

Saya berprasangka baik, bahwa tujuan awal di buatnya teknologi semacam sosial media ini tentu mempunyai tujuan dan maksud yang baik. Yakni, memberikan fasilitas komunikasi yang mumpuni dalam mengakomodir kebutuhan manusia akan komunikasi yang terpaut jauh dan terparak jarak. Tapi, lihatlah akhir-akhir ini seiring perkembangan teknologi yang kian canggih, maka bergeserlah pula peran dan fungsi dari sosial media ini. Kini teknologi yang memudahkan ini dicap sebagai biang keladi.

Ya, sebuah biang keladi dari semua rentetan-rentetan kelakuan manusia macam kita yang memuakan ini. Bagaimana tidak, sosial media dulunya adalah sebuah media komunikasi yang digadang-gadang sebagai sebuah penemuan positif, kini justru banyak dihujat dan disumpahi dengan sumpah-sumpah serapah. Maka tak ayal jika, sebagaian orang kini merasa alergi dengan sosial media dengan segala hiruk-pikuknya. Karena merasa alergi dengan semuanya, mayoritas memilih hengkang.

Alasannya, banyak yang bilang bahwa sosial media banyak dipenuhi dengan orang-orang yang palsu. Setiap menitnya, selalu penuh sesak dengan lalu lalu kabar berita yang sebenarnya tidak penting. Sosial media menjelma menjadi sebuah etalase pemajang yang seolah-olah dijadikan validasi atas kebahagiaan, gaya hidup, status sosial, gengsi, pamer, dan segala tindakan memuakan lainnya yang bersifat egosentris. Tapi ada juga, sebagian dari kita yang merasa harga dirinya melonjak seketika layaknya seorang selebritas.

Apalagi saat kita mengetahui bahwa akun sosial media kita dibanjiri dengan ratusan bahkan ribuan apresiasi dan sederet pujian lainnya. Tak juga ketinggalan, secara tiba-tiba kita diikuti oleh banyak orang. Dengan ini, secara otomatis banyak orang akan menerima segala pembaharuan status kita. Ini artinya semua orang akan tahu banyak tentang hidup kita. Sedangkan kita yang merasa diapresiasi, berusaha untuk tampil lebih baik dan lebih baik lagi dalam membangun citra diri di sosial media.

Kita mulai mengusahakan yang sebenarnya jauh dari kemampuan. Mengenakan pakaian-pakaian dan barang-barang mahal, berbagi foto saat liburan dalam dan luar negeri, makan makanan di restoran mahal. Semua itu dilakukan hanya untuk mendapatkan tanda suka atau barang satu atau dua orang pengikut. Kita mulai lupa pada siapa sebenarnya kita. Kita berubah menjadi diri orang lain tanpa kita sadari. Akankah tindakan ini membawa kita pada sebuah destinasi akhir yakni kebahagiaan yang sebenarnya?

Banyak orang yang dulunya sangat aktif di sosial media, bahkan bisa dibilang artisnya sosial media, kini justru memutuskan untuk menghilang dari peredaran. Meninggalkan segala gemerlapnya. Mungkin mereka merasa bahwa sederet apresiasi dan pujian, apalagi tanda suka, tak mampu membuat mereka merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Semua tampak seperti hanya berpura-pura. Karena bagaimanapun kebahagiaan kita tidak tergantung dari seberapa banyak pengikut atau tanda suka yang bisa kita dapatkan di sosial media.

Founder Hantodiningratâ„¢ | Minimalist Blogger | Kompasianer | www.hantodiningrat.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun