Mohon tunggu...
Hantodiningratâ„¢
Hantodiningratâ„¢ Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Minimalist Blogger

hantodiningrat.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menjadi Manusia Rebel Ditengah Dunia yang Penuh Krisis Kepercayaan Diri

16 November 2015   08:24 Diperbarui: 4 April 2017   17:31 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat fenomena yang terjadi belakangan ini, rasa-rasanya manusia seperti kita ini, kini menjelma menjadi orang-orang yang gila soal validasi. Betapa tidak, di dunia yang sedang mengalami krisis kepercayaan diri, kita selalu dibuat seolah-olah tampak tidak, kurang atau belum sempurna. Kita merasa bahwa kita serba kekurangan ini dan itu. Kita digiring pada sebuah pola fikir dimana kita membutuhkan sesuatu untuk menutupi kekurangan dan ketidaksempurnaan tersebut.

Maka tak ayal jika, beberapa dari kita seringkali dibuat seolah-olah membutuhkan krim pemutih agar kulit kita yang aslinya secara rasial berwarna sawo matang bisa menjadi seputih kapas. Kita secara tiba-tiba membutuhkan mobil, karena definisi kaya yang beredar di masyarakat adalah mereka yang sanggup beli mobil. Tak lupa juga kita kemudian membeli banyak pakaian yang mahal dan bermerk yang secara fungsionalitas dan esensi tidak kita ketahui, hanya karena kita ingin terlihat keren.

Semua perilaku ini muncul, tak lepas dari pengaruh korporat yang menjual berbagai produk kebutuhan hidup. Mereka kini tak lagi fokus pada pengembangan sebuah produk, meskipun pengembangan produk itu penting. Tapi pengembangan produk saja, tidak cukup dan tidak serta merta bisa membuat seseorang calon konsumen mau membeli dan menggunakan produk yang mereka buat. Lalu, langkah apa yang kemudian ditempuh oleh para korporat ini untuk menjaring konsumen?

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh para korporat ini dalam upaya menggaet loyalitas konsumen adalah dengan menciptakan ilusi kepercayaan diri. Artinya, mereka berusaha memberikan sebuah stigma atau stereotip kepada calon konsumennya, tentang bagaimana sebuah sistem bekerja sebagaimana yang seharusnya. Secara lebih sederhana, mereka berusaha menyuntikkan sebuah doktrin kepada kita semua berupa ilusi, bahwa untuk menjadi yang demikian maka kita harus demikian.

Untuk terlihat lebih cantik maka Anda haruslah mempunyai kulit yang putih. Nah, jika Anda ingin mempunyai kulit yang putih dan cantik, maka Anda butuh krim pemutih kulit. Untuk menjadi lelaki yang tampak macho atau maskulin, maka Anda, para pria, wajib merokok! Atau jika Anda ingin terlihat kaya maka Anda harus beli mobil ini. Jika Anda ingin diingat sebagai seorang yang fashionable, maka artinya Anda butuh merek pakaian yang seperti ini. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kira-kira begitulah mekanisme para korporat kapitalis tersebut dalam menggaet konsumennya. Mereka akan selalu memberikan jargon-jargon provokatif, yang tujuannya tentu, tidak lain dan tidak bukan adalah menanamkan sebuah kerendahdirian sehingga kita merasa tidak percaya diri pada apa yang sudah dianugerahkan kepada kita. Mereka selalu mencoba melakukan hal-hal demikian. Mereka akan selalu mencoba menggali lubang hati ke dalam alam bawah sadar calon konsumennya.

Karena kita merasa selalu saja ada yang kurang di hati kita, maka satu-satunya jalan yang bisa menutup lubang hati itu, adalah dengan cara membeli produk yang dijual oleh para korporat tersebut. Mari berandai-andai! Jika saja, hari ini semua wanita bersyukur dan merasa percaya diri dengan apa yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka, yakni tubuh dan kecantikannya, saya tidak bisa membayangkan akan ada berapa banyak perusahaan produk kecantikan yang gulung tikar.

Tapi lihatlah, hari ini masih begitu banyak wanita yang sepertinya kekurangan kepercayaan diri. Mereka lebih memilih menggantungkan diri terhadap produk-produk kecantikan. Saya akui, mereka memang tampak lebih cantik. Tapi entah mengapa, saya selalu saja merasa bahwa mereka sedang diekploitasi dengan tuntutan, standar dan parameter-parameter tertentu. Akhir kata, ditengah dunia yang sedang mengalami krisis kepercayaan diri, menjadi diri sendiri adalah sebuah tindakan yang penuh keberanian.

Hantodiningratâ„¢ | Minimalist Blogger | Kompasianer | www.hantodiningrat.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun