Mohon tunggu...
Hanter Siregar
Hanter Siregar Mohon Tunggu... Penulis - Masih sebuah tanda tanya?

Mencintai kebijaksanaan, tetapi tidak mengetahui bagaimana caranya!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Apakah Vonis Mati Pengadilan Tinggi Bandung terhadap Herry Wirawan, Adil?

8 April 2022   20:14 Diperbarui: 8 April 2022   20:17 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hubungan tersebut berlangsung yang berakibat kepada anak didiknya, yaitu timbulnya ketidakmampuan kepada si anak didik untuk melakukan perlawanan, tidak mempunyai pilihan dan tidak mempunyai keberanian untuk menolak. Keadaan tersebut bersesuaian  dengan fakta persidangan bahwa para anak korban selalu diberi pernyataan "Guru itu ditaati dan dihormati", juga "Jangan takut gitu, nggak ada seorang ayah yang akan menghancurkan masa depan anaknya", pernyataan-pernyataan tersebut selalu dibisikkan dan diulang-ulang oleh Terdakwa kepada Para Korban/anak korban.

Para Anak Korban akhirnya mengikuti kemauan Terdakwa karena teringat akan apa yang disampaikan terdakwa tersebut. Hal itu didukung oleh pendapat ahli psikolog, pola hubungan tersebut terbentuk melalui sexsual grooming  yang Terdakwa bangun/persiapan dengan membangun safety, understanding, fun dan influence.

Bermula menciptakan rasa nyaman dan rasa senang dengan memberikan fasilitas, yang membuat seolah-olah anak korban merasa beruntung. Dengan perasaan nyaman tersebut, si korban akan berusaha mengerti, memahami dan menerima apapun yang dilakukan oleh si pemberi kenyamanan tersebut.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta persidangan  sesuai dengan pendapat ahli psikolog dan bukti surat visum et repertum anak korban sebagaimana terurai, majelis hakim berpendapat bahwa unsur melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya terpenuhi secara sah menurut hukum. Selanjutnya terdakwa dalam fakta yang terungkap dalam persidangan adalah tenaga pendidik  sekaligus pimpinan pondok pesantren Manarul Huda dan sebagai Pengajar Pelajaran bahasa Arab  dan kitab atas anak-anak  didik terdakwa yakni santriwati.

Maka dengan demikian sangat berdasar dan telah mempunyai alasan yang kuat untuk menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Terdakwa pun, oleh majelis hakim divonis pidana penjara seumur hidup.

Akan tetapi para korban, merasa bahwa putusan terhadap terdakwa dirasa belum memenuhi rasa keadilan. Para korban melalui Jaksa/Penuntut Umum mengajukan permohonan Banding pada Pengadilan Tinggi Negeri Bandung.

Selanjutnya pada tanggal 4 April 2022, PT Bandung telah menjatuhkan putusan dalam perkara  terdakwa Herry Wirawan dengan vonis menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana "MATI" dan juga membebankan restitusi kepada Terdakwa Herry Wirawan alias Heri bin DEDE serta merampas harta kekayaan/ aset Terdakwa berupa tanah dan bangunan serta hak-hak terdakwa dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, serta aset lainnya.

Segala aset yang disita beserta aset yang belum disita untuk selanjutnya dilakukan penjualan lelang dan hasil diserahkan kepada Pemerintah cq Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat untuk dipergunakan sebagai biaya pendidikan dan kelangsungan hidup para anak korban dan bayi-bayinya hingga mereka dewasa atau menikah.

Adapun pertimbangan PT Bandung terhadap hal-hal yang memberatkan yakni; akibat perbuatan Terdakwa menimbulkan anak-anak dari para anak korban, di mana sejak lahir kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya, sebagaimana seharusnya anak-anak yang lahir pada umumnya, dan pada akhirnya perawatan anak-anak tersebut akan melibatkan banyak pihak. Akibat perbuatan Terdakwa menimbulkan trauma dan penderitaan pula terhadap korban dan orangtua korban.

Juga terhadap perbuatan Terdakwa yang dilakukan diberbagai tempat dianggap menggunakan simbol agama di antaranya di Pondok Pesantren yang Terdakwa pimpin, dapat merusak lembaga pondok pesantren, merusak citra agama Islam dan dapat menyebabkan kekhawatiran orang tua untuk mengirim anaknya belajar di Pondok Pesantren. Sementara pertimbangan terhadap hal-hal meringankan, tidak ada.

Dikaji dari kedua putusan Pengadilan Negeri tingkat pertama dan tingkat banding, penulis sependapat dalam Putusan Banding dengan vonis hukuman mati meskipun sebelumnya saya menolak penerapan hukuman mati, akan tetapi hal itu dapat diterima mengingat hukuman mati di Indonesia masih diterapkan. Mengetahui korban yang begitu banyak, di mana korban masih anak di bawah umur yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum penuh, tetapi justru diperlakukan secara tidak manusiawi---oleh gurunya juga, yang notabene mengajarkan kitab suci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun