Berdasarkan ketentuan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 5; "Pemerintah bertanggungjawab penuh terhadap keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam berlalu-lintas".
Pasal 6 ayat (2) "Setiap oang yang mengemudikan kendarahan bermotor wajib mengemudikan kendarahannya dengan mengutamakan keselamatan para pejalan kaki"
Pasal 131 hak dan kewajiban pejalan kaki, pasal 277 dan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2006 tentang Jalan, nampaknya tidak cukup untuk membuat para pengendara motor takut melanggar pemakaian trotoar.
Sementara dalam Pasal 106 ayat (2) UU Nomor 22 tahun 2009, ditentukan bahwa pengemudi kendaraan bermotor wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki. Sedangkan di Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006, pelarangan penggunaan trotoar disebutkan dalam Pasal 34 ayat (4) yang mengatakan bahwa trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.
Tapi yang terjadi di lapangan, trotoar justru dijadikan lahan parkir, tempat orang-orang berjualan dan melakukan berbagai macam kegiatan yang dapat menganggu para pejalan kaki.
Masyarat seolah sudah menjadi kebiasaan untuk hidup dalam ketidak tertiban. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karena tidak ada sanksi hukum yang tegas dari pihak yang berwajib. Kedua, pemerintah lalai dalam bidang pengawasan dan spele terhadap kenyamanan dan ketertiban masyarkat. Ketiga, pejalan kaki lemah dalam memperjuangkan haknya sebagai pejalan kaki..
Pasalnya, terlalu banyak Pedangang Kaki Lima dan pengendara motor yang menggunakan trotoar dengan tidak semestinya, termasuk sebagai lahan parkir. Sampai sekarang, pemerintah pun tidak menuntut urgensi bagi penegakan hukum di trotoar. Jadi kalau tidak ada tindakan yang keras dan tegas, aturan hukum hanyalah sebagai formalitas.
Banyaknya pelanggaran yang terjadi dan tidak segera ditertibkan membuat orang terus melakukan pelanggaran tersebut. Kesalahan-kesalahan yang terus menerus dilakukan, tentu akan menjadi pembenaran kesalahan dan kesalahan dengan kebiasaan tersebut seolah menjadi kebenaran. Untuk itu pemerintah harus mengambil sikap yang tegas.
UU No. 22 Tahun 2009, hak dan kewajiban para pejalan kaki sudah sangat jelas. Namun sangat disayangkan khususnya kota Pematangsiantar dan juga barangkali sama dengan kota-kota yang terdapat di Indonesia. Pejalan kaki masih dianggap sebagai kaum terpinggirkan dan tidak dilindungi hak-haknya.
Tidak hanya itu pedestrian pun seringkali luput dari perhatian pemerintah, sehingga hak-hak  pejalan kaki seolah dianaktirikan dan tidak diurus dengan layak. Pada hal UU sangat jelas menentukan bahwa "Trotoar hanya untuk pejalan kaki, apapun alasannya termasuk macet.