Seketika menginjak Bandara Apuriyu, Kokonao, pandangku tertumbuk pada gapura ringkih. Tulisan pada gapura itu "Selamat Datang di Kota Tua Kokonao". Lho, mengapa kota kecil ini berpredikat kota tua?
Alasan pertama, dari hitungan tahun, kota ini memang sudah lebih dari dasawindu. Pemerintah Belanda datang ke Kokonao mulai tahun 1925. Dua tahun kemudian, para misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) memulai pendidikan di kota ini. Mereka membangun asrama untuk anak-anak laki dan perempuan. Lalu, untuk merawat penduduk sekitar mereka juga membangun rumah sakit.
Maka, kalau Anda sekali waktu singgah di kota di pesisir selatan Papua ini, Anda akan menemukan kompleks misi. Ada pastoran (rumah tinggal untuk pastor Katolik), biara suster Fransiskanes Charitas, asrama puteri, asrama putera, SD, SMP, dan rumah sakit yang kini sudah diambil alih oleh pemerintah.
Dulu, Kokonao merupakan pusat pendidikan untuk anak-anak Kamoro dan suku-suku lain di Papua bagian selatan. Selepas dari Kokonao, sebagian ada yang melanjutkan ke Jayapura, Merauke, Fakfak, dan tempat yang lain.
Selain itu, di masa lalu, kota ini juga terhubung dengan Merauke sebab para misionaris MSC diberangkatkan dari sana. Lalu juga dengan Kei karena guru-guru pun dibawa dari sana. Karena misionaris datang dari Belanda, Kokonao pun tersambung hingga Belanda.
Alasan itulah yang membuat Kokonao dikenal sebagai kota tua.
Namun, ada alasan lain yang membuat Kokonao 'dituakan', yaitu setelah yang muda lahir: Kota Timika.
Timika terbentuk tanpa bisa dilepaskan dari kehadiran perusahaan pertambangan raksasa Amerika, PT. Freeport. Kota Timika terbentuk setelah perusahaan ini masuk pada 1967. Untuk menunjang kepentingan operasinya, perusahaan ini membangun kota di dataran rendah yaitu Timika.
Kota Timika memiliki fasilitas publik yang lebih lengkap dan lebih modern dibandingkan Kokonao. Di samping itu, ia pun terhubung dengan kota-kota lain melalui penerbangan dan pelayaran. Anda bisa terbang ke Jayapura, ke Denpasar, Jakarta, bahkan Australia.
Aneka kebutuhan hidup sehari-hari tersedia dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan Kokonao. Malah, ketika ke Kokonao, saya perlu membawa bekal sayur-mayur. Sebab, Kokonao tidak memiliki cukup sayuran.
Munculnya Timika, yang terus berkembang, menyebabkan Kokonao kian ditinggalkan. Kota itu tidak lagi terhubung dengan tempat lain, selain Timika. Perannya sebagai kota yang bisa menyediakan berbagai layanan tidak lagi terpenuhi.