Sebagaimana perkiraan penulis, pilpres kali ini tidak akan baik-baik saja. Hal itu dipicu oleh anak presiden yang sedang berkuasa -- yang bahkan tidak memenuhi syarat/UU -- namun dipaksakan ikut sebagai kontestan pilpres, cawapres.Â
Dan terbukti. Setelah anak ini "lolos" jadi cawapres, haluan politik bapaknya pun berubah drastis. Yang tadinya mengaku "tegak lurus" pada putusan partai, menjadi bersikap "EGP" (emang gue pikirin). Kata orang, itulah politik, apalagi jika pelakonnya ternyata buas, meski muka selalu tersenyum.
Keputusan partai tidak lagi diindahkan. Jasa-jasa partai hanya rongsokan. Capres yang sejak lama dia ikut persiapkan ditinggal begitu saja. Ya ialah, anaknya juga ikut bertanding, kok malah dukung orang lain? Persetan dengan masa lalu. Yang perlu kan masa depan, menyiapkan masa depan anak yang gilang gemilang. Kalau bukan sekarang kapang lagi?
Maka pelanggaran demi pelanggaran pun terjadi demi memuluskan kemenangan anak dan pasangannya itu. Pelanggaran pertama adalah dibiarkannya Ketua MK mengegolkan keputusan yang kental aroma nepotismenya. Seterusnya dan seterusnya adalah pengerahan aparat, kepala daerah, kades, bansos, fasilitas negara.Â
Bahkan penyelenggara, pengawas semua sudah masuk dalam lingkaran penguasa. Aparat hanya tinggal memasang spanduk di lingkungan kantor dan markas bahwa mereka netral. Tapi rakyat yang kritis dan cerdas hanya tertawa.
Para sesepuh, tokoh masyarat, pemuka agama, guru bangsa yang punya integritas sudah mengeluarkan petisi keprihatinan. Mereka berteriak bahwa bangsa dan negara harus diselamatkan, demokrasi harus dijunjung tinggi. Tapi siapa peduli? Rakyat toh masih banyak yang bisa disumpal dengan susu gratis, uang Rp 50.000 - Rp 100.000,- bansos, dll.
Bukan hanya rakyat cerdas dan para tokoh bangsa yang berintegritas cemas dan gerah. Para akademisi pun sudah bersuara dari kampus-kampus. Bukti bahwa situasi dan kondisi tidak baik-baik saja. Demokrasi harus dikembalikan ke jalurnya. Perjuangan Reformasi 1998 harus dilanjutkan, bukan dibelokkan oleh penguasa yang sudah kehilangan akal sehat dan nurani demi kepentingan keluarga.
Tak guna berdalih demi kebaikan bangsa dan masa depan pembangunan. Ratusan juta warga Indonesia ada banyak yang bisa bahkan lebih mampu untuk memajukan bangsa dan negara. Indonesia bukan hanya tentang jalan tol, bendungan, ibu kota baru, dan sebagainya. Itu hanya ecek-ecek.Â
Yang dibutuhkan adalah sosok yang mampu mengelola sumber daya alam sehingga bisa dimanfaatkan menuju masyarakat yang sejahtera dan adil. Yang dibutuhkan adalah sosok pemberantas korupsi, menyita aset-aset negara yang dikorupsi, dan menyalurkannya pada rakyat.
Yang diduga terjadi adalah sosok-sosok yang dicurigai punya kasus korupsi disandera agar mendukung segala rencana politik keluarganya. Bila tidak, kasus-kasusnya akan dibuka ke pengadilan. Sebelumnya para kades ramai diberitakan sedang terkena intimidasi supaya tidak bertingkah jika tidak ingin diaudit soal penggunaan dana.Â
Dan masih ada banyak lagi kasus-kasus yang dapat dikatakan sebagai pelanggaran dan cawe-cawe penguasa. Dan semua ini bermuara pada kemenangan sang putra mahkota.
Bahwa itu semua curang dan culas, dapat terlihat dengan banyaknya kecurangan dan keganjilan menyikapi hasil-hasil pilpres. Aksi demo sudah mulai marak di mana-mana, menuntut kecurangan dihentikan, meski semua tahu hal itu tidak akan diindahkan. Sejak awal memang sudah begitu.
Demi menyelamatkan demokrasi dan masa depan bangsa, yang urgen saat ini adalah: makzulkan dia, dan diskualifikasi hasilnya. Pilpres harus diulang dengan mengindahkan aturan dan UU yang berlaku, bukan melanggar UU dengan mengandalkan lembaga yang sudah terkominasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H