Hujan beruntun dalam minggu-minggu ini di Jakarta dan sekitarnya, telah membuat banjir kembali hadir. Diberitakan di media-media tentang kawasan-kawasan tertentu yang tergenang air hingga ukuran meter. Ini sangat memprihatinkan. Terbayang warga yang menjadi korban sudah pasti susah, apalagi jika air memasuki rumahnya. Perabotan pun tergenang dan rusak.
Banjir memang tidak mengenakkan, apalagi sampai masuk rumah dan merendam perkakas yang rawan rusak jika terkena air. Maka apapun caranya, banjir semacam ini harus diatasi.Â
Kota Jakarta sudah sejak dulu dikenal sebagai "langganan" banjir. Hal itu karena sejak beberapa dekade lalu, yang namanya penanganan banjir terkesan tidak maksimal. Ada kesan bahwa Jakarta memang sudah ditakdirkan untuk banjir, maka pengelola kota ketika itu hanya sibuk mengurusi pengungsi jika banjir besar melanda.
Namun ada atmosfir baru ketika Joko Widodo menjadi gubernur DKI Jakarta (2012). Aksi-aksi nyata untuk mengatasi banjir gencar dilakukan seperti mengeruk waduk-waduk. Membersihkan sampah, dan lain sebagainya, hingga program yang spektakuler: normalisasi sungai.
Betul sekali. Salah satu cara efektif meminimalisir banjir di Ibu Kota kita ini adalah mengeruk sungai dan kali, mendalami dari ujung ke ujung minimal satu meter. Bayangkan apabila seluruh sungai dan kali dikeruk menjadi lebih dalam satu meter dari ujung ke ujung, maka air yang meluap dari hulu, akan tertampung lebih banyak di sungai, hanya sedikit yang meluber ke jalan dan permukiman.
Gubernur Jokowi, dan kemudian wakilnya Ahok yang melanjutkan sebagai plt gubernur, sadar betul akan hal itu. Maka kedua tokoh itu menggencarkan normalisasi, dan tentu didukung pembangunan waduk  atau bendungan di luar DKI, yang fungsinya menahan air dari hulu supaya tidak semua meluap ke Kali Ciliwung. Ada lagi satu lagi, yakni membuat sodetan untuk mengalirkan air supaya tidak parkir di satu wilayah. Sodetan termaksud sedang dalam pengerjaan, semoga segera rampung dan beroperasi.
Setelah masa Ahok-Djarot, boleh dikatakan upaya penanganan banjir tidak maksimal. Bahkan dana penanganan banjir di APBD disunat sebesar ratusan miliar rupiah. Maka tidak heran jika banyak orang mempertanyakan komitmen pemerintah kota saat itu soal penanganan banjir.
Namun ketika Heru Budi Hartono datang sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta, per 20 Oktober 2022 lalu, nyata sekali geliat dan semangat untuk menangani banjir. Kerja sama dan sinergi dengan pusat tampak kompak dan mesra. Sungai-sungai mulai dinormalisasi. Warga bersorak, sebab ketika hujan turun seharian, nyaris tidak ada kawasan yang banjir serius. Hal itu berlangsung hingga beberapa bulan.
Namun pada akhir Februari dan awal Maret 2023 ini, hujan turun gila-gilaan, bahkan dari malam hingga malam hujan mengguyur. Dan itu terjadi beruntun. Walhasil banjir pun kembali menghinggapi permukiman warga yang ada di tepi kali. Misalnya, ada permukiman padat di tepi Kali Mookevaart Jakarta Barat yang terendam lama, karena kali besar dan panjang yang sebenarnya sudah dibetonisasi itu meluap. Kali ini mestinya dikeruk dari ujung ke ujung, tetapi tampaknya belum dapat giliran?
Berita "DKI banjir lagi" membahana di medsos. Meski memang tidak separah dulu. Kita tidak perlu menafikan upaya pengelola kota selama lima bulan terakhir, meski memang belum sempurna, dan belum memenuhi ekspektasi semua warga.Â