Penulis tidak kenal Lucky Hakim ini. Padahal katanya beliau ini seorang artis, yang kemudian menjadi wakil walikota Indramayu. Nama dan sosok pak mantan wabup ini pun baru penulis kenal setelah kasus ini, atau lebih tepatnya lagi setelah Kompasiana menjadikannya sebagai topik pilihan sejak seminggu lalu.
Soal Indramayu, memang sudah lama penulis ketahui sebagai sebuah kota/kabupaten di Jawa Barat. Selalu pengen ke sana, tetapi belum sempat. Tapi tentang perpolitikan di daerah ini tentu jauh dari perhatian penulis yang berdomisili sangat jauh dari sini. Maka tidak mengherankan dan tentu dapat dimaklumi jika tidak tahu siapa nama kepala daerahnya saat ini.Â
Baru tahu nama bupati Indramayu saat ini bernama Nina Agustina Bachtiar, dan wakilnya Lucky Hakim. Pasangan ini menduduki jabatan ini sejak 26 Februari 2021, dan berpisah tahun ini Februari 2023, atau setelah genap dua tahun bersama.
Dari info Wikipedia, Nina Agustina yang lahir pada 17 Agustus 1973 ini adalah kader PDI Perjuangan. Sementara Lucky Hakim disebut sebagai seorang artis. Â Mungkinkah Lucky Hakim ini terinspirasi Sigit Purnomo atau Pasha Ungu, artis penyanyi, yang pernah jadi wakil bupati Palu, Sulawesi Tengah(?)
Tidak terlalu jelas apa yang menyebabkan Lucky Hakim mundur dari jabatannya sebagai wakil walikota. Kalaupun dia menyebut karena sudah tidak sejalan dengan bupati, itu terkesan klise. Tidak ada yang baru dari statemen semacam itu. Dan lagi pula, apakah memang harus sejalan? Tidak harus bukan?
Bukan rahasia jika yang namanya "wakil" dalam sistem politik negeri ini -- bahkan mungkin di seluruh dunia -- hanyalah semacam ban serep, cadangan jika sewaktu-waktu kepala daerahnya berhalangan tetap. Supaya tidak sampai terjadi kevakuman di pemerintahan daerah, maka wakil kepala daerah langsung menggantikan posisi itu. Dan itu memang sesuai UU.
Tapi kadang ada yang lucu, seperti ketika Gubernur DKI Jakarta (2012-2014) Joko Widodo menjadi presiden RI (2024-2019), maka sesuai UU, Wakil Gubernur Basuki  Tjahaja Purnama (Ahok) otomatis naik jadi pelaksana tugas (plt) gubernur. Itu amanat UU. Namun ada saja kelompok yang ingin merusak sistem ini dengan mencoba menolak  Ahok jadi gubernur.
Hubungan kepala daerah dengan wakilnya memang sebaiknya rukun dan damai, meskipun mungkin tidak selalu sepaham dalam berbagai hal. Hal yang sama juga dituntut dari seorang presiden dengan wakilnya, harus rukun dan damai, walau sebenarnya tidak sepakat dalam berbagai hal.Â
Tetapi presiden adalah bos yang sebenarnya, penentu segalanya. Wakilnya harus ikut, suka atau tidak suka. Sebab apabila sang wakil ngotot dengan sikapnya yang berlawanan dengan presiden, entah apa jadinya negeri ini bukan? Hal yang sama pernah terdengar ketika SBY punya wakil JK. Konon JK ini kerap bertindak (cepat) tidak seperti yang dikehendaki SBY. Maka SBY tidak suka.
Maka dapat dimengerti  bila dalam Pilpres 2009, untuk periode keduanya, SBY memilih Boediono menjadi cawapresnya. Soalnya mantan gubernur BI itu berpembawaan kalem, dan manut. Maka selama periode keduanya, SBY tampak enjoy, dalam arti tidak harus "makan hati" melihat tindak-tanduk wakilnya.