Setelan jas adalah khas Barat, tapi sudah menjadi milik warga dunia. Hampir semua orang mengenakannya tanpa kendala di hati. Tapi memang ada yang mengaitkannya dengan agama. Tapi ini problem sebagian orang yang selalu memandang segala sesuatu itu dari segi agama. Maka baju atau busana pun dianggap beragama.
Setelan jas memang busana asli atau khas Barat untuk bapak, atau kaum pria. Namun kini hampir semua orang/bangsa mengadopsinya sebagai busana yang dianggap formal dan terhormat. Seseorang pria memang tampak lebih tampan dan berwibawa pada saat mengenakan jas lengkap, termasuk dasi yang selaras dengan warna setelan.Â
Misal, setelan jas hitam, mestinya dipadu dengan kemeja dan dasi yang warnanya nyambung. Jika jas berwarna hitam, celana pun mestinya sama. Tapi sekarang jamak menyaksikan perpaduan warna. Atas hitam, bawah (celana) coklat, atau sebaliknya. Meski perpaduan warna itu sudah jamak saat ini, namun kesannya kok kurang pada tempatnya. Belum lagi setelan jas warna apa saja dipadu dengan celana blue jeans.Â
Namun demikian, cara berbusana seperti itu dianggap lebih terhormat dan bergengsi sekarang ini. Setelan jas yang senada, baru dikenakan pada saat acara yang dianggap sangat penting, sakral atau resmi. Presiden Jokowi sudah lekat dengan cirinya: celana panjang hitam dan kemeja putih lengan panjang dilipat sedikit. Tapi kalau melantik menteri atau pejabat, Jokowi mengenakan setelan jas hitam lengkap dengan dasi.
Setelan jas lengkap dengan dasi memang dianggap sebagai pakaian terhormat, sehingga "wajib" dikenakan pada saat acara penting, resmi, dan berlevel kenegaraan. Memang ada kesan bahwa dengan mengenakan jas lengkap, kita menghormati orang lain. Presiden Jokowi, pada saat berpidato di acara dies natalis perguruan tinggi, pasti mengenakan setelan jas lengkap. Memang akan jadi heboh apabila misalnya Jokowi berpidato dalam acara dies natalis dengan busana khasnya: celana panjang hitam dan kemeja putih. Bisa tercipta kesan bahwa tuan rumah kurang dihormati.
Hal-hal semacam inilah yang lagi-lagi membuktikan betapa setelan jas lengkap itu lebih terhormat dibanding busana lainnya. Eh... hampir lupa, pengantin pria pun umumnya mengenakan setelan jas lengkap, bila tidak mengenakan busana adat.Â
Yang menjadi pertanyaan, mengapa kita sebagai bangsa Indonesia tidak belajar mengenakan busana batik saja pada acara-acara yang dianggap hormat, sakral dan resmi? Bayangkan bila misalnya Presiden Jokowi, saat melantik menteri atau menerima duta besar baru negara sahabat, mengenakan batik? Tentu lebih menarik.Â
Para menteri dan pejabat Indonesia pun sebaiknya harus mengenakan batik. Sementara pejabat asing, terserah mereka apa tetap mengenakan setelan jas, atau pakaian batik? Itu hak prerogatif mereka. Namun alangkah eloknya apabila pejabat-pejabat kita, termasuk presiden mengenakan busana batik?
Selain mengutamakan produk dan budaya asli negeri, tentu ada upaya melestarikan dan mengangkat derajat busana batik itu. Namun jika sebaliknya, mengutamakan setelan jas lengkap, dan mengabaikan batik, itu sama saja halnya merendahkan budaya bangsa sendiri bukan?
Bahwa batik dianggap lebih "rendah" dibanding setelan jas oleh orang kita sendiri, sering penulis tangkap kesan semacam ini. Misalnya ada yang menegor seseorang yang mengenakan batik waktu menghadiri suatu acara berbau adat. Mestinya jas. Tegurannya itu pun cukup keras dan nyelekit: walaupun baju batik yang kau pakai ini harganya Rp 5 juta, namun kesannya akan lebih pantas jika kau mengenakan jas, walaupun jasnya beli di tukang loak.Â