Tidak seharusnya juara Piala Dunia (Wolrd Cup) sepakbola ditentukan lewat adu tendangan penalti ( tos-tosan). Bila kedudukan kedua finalis tetap draw, sama kuat hingga usai perpanjangan 2 x 15 menit, maka kedua tim harus dinyatakan sebagai "juara kembar". Tapi status ini pun hanya sementara. Sebab beberapa bulan kemudian akan dilakukan pertandingan ulang hingga ada pemenangnya, yang akan dinobatkan sebagai juara tunggal, dan pemegang trophy. Â Langkah semacam ini lebih logis, terhormat, manusiawi, dan bersifat win-win solution.
Dunia baru saja menyaksikan Piala Dunia 2022 yang berlangsung di Qatar, pada akhir tahun. Ini memang tidak lazim, sebab biasanya turnamen  empat tahunan ini dilangsungkan pada pertengahan tahun (Juni - Juli). Tetapi alasannya membuat logis, sebab ini berkaitan dengan cuaca. Jika Piala Dunia Qatar 2022 diselenggarakan pada waktu "normal" (Juni - Juli), itu puncak panasnya cuaca di Qatar. Maka diundur ke Desember yang cuacanya lebih adem.
Di putaran grand final 18 Desember 2022, timnas Argentina bertemu timnas Perancis. Kedudukan imbang (3-3) hingga perpanjangan waktu 2 x 15 menit. Akhirnya diadakan adu penalti  yang dimenangkan skuad Argentina dengan skor 4-2. Dua eksekutor Perancis: Kingsley Coman dan Aurelien Tchouameni gagal dalam eksekusi.
Ketika skuad Argentina bersorak sorai, timnas Perancis tentu berduka. Namun Kingsley Coman dan Aurelien Tchouameni pasti dihantui rasa bersalah atau rasa berdosa terhadap timnas, bangsa dan rakyat Perancis. Bayangkan betapa berat beban mental yang harus ditanggung keduanya hingga seumur hidup. Itulah sisi ketidakmanusiawian adu penalti dalam pertandingan berlevel sangat tinggi semacam Piala Dunia ini.
Dalam sejarah, tercatat tiga kali perhelatan akbar sepak bola ini harus diselesaikan dengan adu penalti. Yang pertama pada Piala Dunia 1994 AS, antara Brasil versus Italia. Skor tetap 0-0 hingga perpanjangan waktu. Dan dalam adu penalti, Brasil menang 3-2. Algojo Italia yang gagal itu adalah Roberto Baggio, yang padahal sepanjang turnamen penampilannya sangat cemerlang. Tapi di penalti dia gagal, sebab sepakannya  melayang tinggi di atas mistar.
Pada Piala Dunia 2006 yang berlangsung di Jerman, timnas Italia berhadapan dengan Perancis di grandfinal. Karena imbang 1-1, maka diadakan tos-tosan. Dan akhirnya Italia berhasil menumbangkan Perancis lewat adu penalti dengan skor 5-3.Â
Kalah dalam adu penalti jelas menyakitkan, namun yang paling menderita adalah pemain yang gagal menceploskan bola ke dalam gawang lawan. Mungkin publik bisa memahami, namun untuk si pemain sendiri bisa jadi itu aib yang akan disesalinya atau dikutukinya sepanjang hidupnya.
Maka ada baiknya tos-tosan semacam ini dihindari saja dalam setiap grandfinal Piala Dunia. Jika dua finalis tetap imbang hingga usai perpanjangan waktu 2 x 15 menit.Â
Selain tidak sepadan dengan sepak bola tingkat dunia (karena lebih pada faktor untung-untungan), akan membuat penendang yang gagal merasa bersalah dan berdosa selama hidupnya. Â Dan ini kejam, bahkan melanggar HAM!
Maka solusi yang paling tepat, logis, terhormat dan manusiawi adalah: menetapkan kedua finalis sebagai juara kembar jika permainan tetap draw hingga peluit panjang ditiup wasit. Dan kedudukan ini cuma sementara, sebab beberapa bulan kemudian akan diadakan pertandingan ulang untuk menentukan juara tunggal.