Semenjak Ignasius Jonan menjadi dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI), perusahaan moda transportasi milik negara ini berubah 180 derajat. Semakin bagus, semakin ideal, dan semakin manusiawi. Stasiun dan kereta api bagaikan disulap saja sehingga seperti yang kita nikmati sekarang ini.
Dulu -- sebelum Jonan -- adalah merupakan pemandangan biasa jika di atap KRL jurusan Jakarta - Bogor yang sedang melaju, banyak orang duduk dengan asyiknya. Padahal KRL melaju dengan kencang, dan beberapa centimeter di atas kepala orang-orang itu terbentang kabel listrik bertegangan tinggi, yang menjadi sumber energi penggerak moda transportasi berbasis rel tersebut.
Pemandangan yang sama rutin terlihat di KRL trayek Bekasi - Jakarta, Tangerang - Jakarta -- dan sebaliknya. Dan ini berlangsung tahunan, tanpa ada yang bisa membereskan kekecauan ini. Padahal ulah para penumpang gelap itu sangat berbahaya. Beberapa orang telah menjadi korban, namun yang lain tidak pernah jera.
Itu gambaran di atas KRL. Di dalam gerbong pun tak kalah kacau-balau. Walau penumpang padat pada jam-jam sibuk, pedagang asongan berlalu-lalang di setiap gerbong, sambil menjajakan dagangannya, seperti air mineral, teh botol, rokok, permen, buah-buahan, dan banyak lagi.Â
Sampai-sampai sudah umum disebut bahwa KRL adalah pasar berjalan. Maka di KRL zaman doeleoe itu, melihat penumpang merokok pun sudah merupakan hal biasa. Dan contoh-contoh yang disebut itu hanya sebagian dari keabsurdan KRL masa itu.Â
Dan itu cuma di KRL, belum di kereta diesel yang jarak jangkauannya panjang seperti Jakarta - Merak, Jakarta - Surabaya, dll.Â
Dan sejak Jonan dipercaya mengurus PT KAI, pemandangan-pemandangan miris di atas, tidak ada lagi. KRL menjadi alat transportasi massal yang nyaman, aman, bersih, dan manusiawi. Hanya saja, padatnya gerbong KRL setiap jam-jam sibuk sepertinya sulit diatasi, sebab itu menyangkut jumlah rangkaian atau unit yang beroperasi.Â
KRL pada jam sibuk memang padat penumpang. Namun kondisi seperti itu diperparah oleh sejumlah penumpang yang tidak menyadari bahwa keberadaannya membuat masalah terhadap penumpang lain. Misalnya penumpang yang membawa ransel atau tas punggung, akan memakan banyak tempat dan menggangu kenyamanan penumpang lain.
Padahal kalau saja mereka sadar, begitu masuk ke dalam gerbong yang sedang penuh sesak itu, tas punggung mestinya dilepas, atau ditaruh di bagasi atas. Atau kalau tidak mau berpisah dari tas ranselnya, bisa saja benda itu diletakkan terbalik, bukan di punggung tapi di dada.Â
Namun posisi berdiri harus disesuaikan sedemikian rupa, menghadap ke kaca atau jendela KRL karena di sana ada ruang kosong, jadi tidak mengganggu penumpang lain yang posisinya saling memunggungi.