Kemajuan zaman dan teknologi pasti menggerus pelan-pelan segala tradisi dan budaya di masyarakat mana pun. Demikian pula halnya dengan pesta adat di kalangan orang Batak, dan secara khusus ulos itu sendiri. Dalam sebuah pesta pernikahan adat, ulos-ulos masih tetap bergulir, sekalipun sudah mulai ada yang menggantikannya dengan amplop berisi uang.
Jika pestanya tergolong besar, sudah pasti akan banyak ulos yang diselempangkan ke pengantin. Jumlahnya bisa ratusan. Persoalannya, ulos-ulos sebanyak ini akan dikemanakan? Biasanya hanya dibawa pulang oleh mempelai ke rumah. Ada yang menaruhnya di lemari, bahkan ada yang membiarkannya tetap dalam karung. Hanya beberapa helai ulos yang dianggap punya "status" lebih berharga yang disimpan secara khusus, misalnya ulos pemberian orang tua pengantin, dan dari kerabat yang sangat dekat dan dihormati.Â
Ulos-ulos yang lain, bisa saja suatu ketika nanti dibawa ke pesta untuk diselempangkan di pesta adat pernikahan, kalau mereka mendapat undangan, dan posisinya sebagai kerabat pemberi ulos. Demikian seterusnya. Tetapi kan tidak setiap hari atau setiap minggu/bulan orang menghadiri acara adat yang mengharuskan dia memberikan ulos, kan? Akhirnya, jumlah ulos pemberian kerabat waktu di pernikahan praktis tidak banyak berkurang. Bahkan ada kalanya kalau kerabat yang sangat dekat menikah, kita malah sengaja membeli ulos yang baru.
Ulos-ulos yang ada di rumah, kalau tidak diurus dengan baik, dalam arti dibiarkan saja demikian menumpuk dalam karung atau tersimpan dalam lemari, suatu ketika, lama-lama akan lapuk dan pada akhirnya rusak. Namanya barang rusak harus dibuang, bukan? Sementara kalau ulos-ulos ini dijual ke "pengepul" di pasar pun harganya sudah jatuh. Sedangkan si pengepul akan menjualnya dengan harga yang masih tinggi.
Ada sebenarnya suara-suara supaya posisi ulos itu diganti dengan amplop saja. Yang menyampaikan ulos pada kedua mempelai dibatasi saja hanya beberapa orang. Tapi ini ditentang oleh banyak orang dengan alasan ulos itu menjadi tidak berharga lagi. Dan bukan tidak mungkin pula produsen ulos, yang saat ini sudah banyak menggunakan mesin-mesin industri, akan berhenti berproduksi? Dan pada akhirnya melenyapkan ulos itu sendiri dari masyarakat Batak?
Ini menjadi dilema besar. Kalau tradisi ini terus dilangsungkan maka akan banyak ulos yang menumpuk sia-sia di rumah-rumah, namun pada sisi lain, jika diadakan pembatasan akan mengancam eksistensi produsen, dan terutama perajin tradisional?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H