Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenakalan di Masa Muda, Perlukah Dibanggakan?

30 Juli 2019   13:49 Diperbarui: 30 Juli 2019   15:11 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak berjuang untuk tiba di sekolah (Foto: republika.co.id)

Semua orang pasti pernah nakal di masa kanak-kanak hingga remaja. Dan kenakalan tersebut hendaknya tidak berlanjutlagi kalau sudah masuk kategori orang tua atau dewasa. Sifat nakal itu terjadi karena usia masih belia, di mana emosi masih labil dan suka menarik perhatian orang lain. 

Jenis kenakalan yang hendak dikemukakan di artikel nan sederhana ini tentunya yang wajar-wajar saja, bukan yang kelewatan atau di luar batas. Waktu remaja suka menjambret tas atau membobol mesin ATM jelas bukan kenakalan lagi namanya, tetapi kejahatan. Anak-anak SD merokok juga bukan tergolong kenakalan lagi tetapi sudah kurang ajar.

Jika kita membaca biografi atau autobiografi dari seseorang tokoh terkenal (public figure) apakah itu seorang pejabat, pengusaha besar, artis top, dsb., pasti ada sisi-sisi kenakalan yang menghiasi masa remaja atau kanak-kanak mereka, misalnya dulu doyan berantem dengan sesama teman sekelas, bolos untuk merokok di kantin, dll. Kenakalan yang masih wajarlah untuk anak-anak SMA dan sederajat.

Suka berkelahi. Jenis kenakalan yang satu ini lebih banyak kita baca dalam kisah hidup seorang tokoh. Dalam wawancara live di televisi pun, seorang public figure biasanya tampak dengan bangga menceritakan bahwa dulu sewaktu masih sekolah, suka berkelahi. Berkelahi ini pun dilatari berbagai motif. Ada yang karena tawuran antarsiswa, karena membela teman yang tertindas, membela diri, dan lain sebagainya.

Tapi kalau dipikir-pikir, tidak perlulah hal-hal seperti ini diekspose di buku kisah hidup atau dibeberkan secara panjang lebar dalam acara talk show misalnya. Sebab ada banyak orang yang menonton siaran itu, termasuk anak-anak yang masih belia, SD sampai SMA. Bisa saja yang sedang tampil di televisi itu idola atau tokoh yang dia kagumi. 

Maka demi mendengar ceritanya tentang hobby tokoh idaman yang doyan berkelahi di masa muda itu, anak-anak yang masih labil pun bisa ikutan terpengaruh, dan akhirnya menganggap bahwa berkelahi itu bagus. Lha, buktinya, Pak Anu bisa jadi menteri kok, padahal dulu dia suka berkelahi. Nah...

Beberapa waktu lalu, salah satu televisi nasional menyiarkan acara rutin mingguan mereka. Program bergenre musik. Studio dipenuhi oleh penonton yang merupakan alumnus sebuah SMA, yang memang diundang oleh pengelola acara tersebut. Di antara alumnus tersebut ada seorang bapak yang saat ini menjadi pejabat tinggi--tinggi sekali--di negeri ini. 

Biasalah, sebagai tamu utama, orang terhormat pula, beliau duduk di depan, dan di sela acara didaulat oleh pembawa acara untuk maju ke panggung. Intinya tentu diminta menyanyikan sebuah lagu, tetapi sebelum itu diadakan acara tanya-jawab ringan yang sifatnya menghibur. 

Karena para penonton di studio itu merupakan sesama alumni satu sekolah SMA di Jakarta dari berbagai angkatan, maka pertanyaan pun berkisar masa-masa lalu semasa sekolah dulu. Seperti diperkirakan sebelumnya, host mengajukan pertanyaan yang sudah biasa: tentang apa saja contoh kenakalan sang tokoh itu di waktu sekolah dulu. 

Dan jawabnya cukup heboh: suka menarik tali BH siswi. Bah!  Di sela-sela tawa hadirin, pembawa acara tampak berusaha agar jawaban ini tidak terlalu lama mengendap dalam memori semua orang, terutama pemirsa yang ada di rumah. Anggap saja pertanyaan ini tidak pernah ada, kata host. 

Sebaiknya memang begitu. Pembawa acara tidak perlu bertanya tentang perbuatan nakal seorang narasumber yang datang sebagai tamu kehormatan karena statusnya sebagai tokoh terkenal atau pejabat tinggi. Sebab kenakalan-kenakalan di masa-masa sekolah yang dia kisahkan dengan nada bangga, berpotensi dicontoh oleh pemirsa yang masih muda dan berjiwa labil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun