Di tengah ketidakpastian arah dan masa depan parpol-parpol koalisi pengusung Jokowi - Ma'ruf, berembus pula isu bahwa putra-putra Presiden Jokowi: Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, masuk bursa sebagai calon walikota Surakarta, Jawa Tengah. Pilkada Kota Surakarta akan digelar pada tanggal 23 September 2020 yang akan datang. Â
Tidak mengherankan jika banyak masyarakat Surakarta atau Solo yang mendukung putra Presiden itu menjadi calon pimpinan daerah mereka, terlebih bila mengingat pola pikir masyarakat Indonesia pada umumnya masih dipenuhi oleh nostalgia dari sistem kerajaan-kerajaan di Nusantara.Â
Takhta akan diwarisi oleh keturunan raja. Wajar pula jika parpol atau politikus mengusung nama-nama yang memang sangat layak jual semacam Gibran dan Kaesang saat ini.
Sistem demokrasi pun tidak melarang jika putra atau putri seorang kepala daerah atau kepala negara menggantikan orang tua mereka. Â Apalagi fenomena ini sudah sering terjadi di negeri ini.Â
Di Kabupaten Tangerang, Banten--tempat penulis berdomisili--Bupati Ismet Iskandar (2003-208 dan 2008-2013) Â digantikan oleh anaknya, Ahmed Zaki Iskandar yang terpilih dalam pilkada 2013.Â
Bahkan dalam pilkada 2018, untuk periode keduanya, Ahmed Zaki dan  Mad Romli (wakil bupati) hanya melawan lumbung kosong alias calon tunggal. Jadi, baik sang ayah maupun sang putra sama-sama memegang amanah untuk memimpin Kabupaten Tangerang untuk dua periode.
Pihak-pihak yang tidak suka pasti akan mencibir fenomena-fenomena seperti ini dengan tudingan bahwa keluarga pejabat ini sedang membangun kerajaan, melestarikan dinasti, dsb. Namun selama tidak ada aturan dalam demokrasi yang melarang praktik-praktik semacam ini, lalu apa yang harus diprotes?
Demikian juga misalnya jika anak-anak Presiden Jokowi, pada pilkada mendatang maju sebagai calon walikota Surakarta, tidak ada yang punya hak untuk melarangnya, sebab dalam undang-undang (UU) hal itu memang tidak dilarang.Â
Namun ini tentu akan menjadi santapan lezat para haters secara khusus Amien Rais dkk yang akan menggorengnya habis-habisan di media massa. Padahal tidak ada kesalahan atau aturan yang dilanggar oleh Jokowi jika putranya maju dalam pilkada.Â
Namun mesti demikian, kita harus mengutamakan etika. Jangan mentang-mentang jalan sedang terbuka lebar, kita pun melenggang tanpa mempedulikan suara-suara sumbang di sekitar. Memang tidak ada larangan, namun jangan seperti istilah dalam bahasa Jawa: aji mumpung.Â
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aji mumpung berarti pemanfaatan situasi dan kondisi untuk kepenting diri sendiri selagi memegang jabatan yang memungkinkan adanya peluang untuk hal itu.Â