Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pengadilan Sistem Online, Seperti Apa Bentuknya?

10 Juli 2019   13:26 Diperbarui: 10 Juli 2019   13:41 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini Millenium III, semua urusan sudah menuju sistem online. Dulu, pintu-pintu tol tempat para pengemudi mobil membayar biaya menggunakan jalan tol ditunggui wanita-wanita cantik yang berprofesi sebagai kasir pintu tol. 

Ada saja sopir yang menyempatkan mengedipkan mata nakal ke kasir cantik itu sebelum melajukan kembali kendaraannya. Atau saat menyodorkan uang atau menunggu uang kembalian dari sang kasir cantik, ada sopir yang melancarkan godaan. Ya, namanya saja lelaki iseng, yang akan tetap ada di sepanjang zaman.

Itu suasana beberapa tahun lalu, yang kini tinggal kenangan. Sekarang, jalan tol boleh saja semakin banyak, tapi kasir-kasir cantik sudah tidak ada lagi di loket pintu tol, semuanya diganti oleh mesin-mesin. Yang ada paling petugas penjaga mesin-mesin, berwajah sangar dan item karena terbakar sinar matahari seharian.

Sistem online pun merambah dunia perbankan. Kalau ingin menarik dana tunai atau mentransfer dana dalam jumlah tertentu, tidak perlu lagi berurusan dengan kasir bank, cukup dengan mesin ATM. Syaratnya tentu kita harus memiliki dana di bank dan punya kartu ATM-nya. 

Dengan sendirinya petugas kasir di bank-bank tidak perlu lagi banyak, bahkan mungkin pada suatu saat tidak perlu lagi? Hal yang sama bisa kita lihat di tempat-tempat parkir, sudah banyak yang menggunakan mesin-mesin untuk bertransaksi. Petugas tidak perlu lagi banyak berjaga di sana.

Dunia memang sudah menuju sistem online. Surat-surat kabar, majalah dan media-media cetak lainnya, sudah banyak yang beralih menjadi media online. Kalaupun masih ada yang tetap dalam bentuk cetak, jumlah oplahnya sudah berkurang dari tahun ke tahun, hingga pada saatnya nanti akan stop terbit, dan pindah ke jagad maya.

Ada yang meramalkan bahwa dokter pun suatu saat nanti tidak akan dibutuhkan lagi, sebab pasien akan dilayani dengan perangkat-perangkat kesehatan bersistem online(?) Caranya, kalau Anda merasa sakit, hanya berselancar di media online, kemudian klik "rumah sakit" atau "dokter spesialis" yang Anda sedang butuhkan.

Lalu input data-data tentang keluhan yang Anda rasakan sedetil mungkin, kemudian akan muncul data-data tentang obat-obatan yang Anda butuhkan. Tak perlu pergi ke apotek, tinggal pesan melalui situs-situs penjualan online yang sudah marak saat ini. Dalam waktu yang tidak lama obat-obatan yang kita butuhkan sudah diantar oleh driver yang dipesan lewat online.

Demikan kira-kira gambaran atau ramalan orang-orang tentang sistem online yang akan menguasai seluruh sendi kehidupan umat manusia modern. Dan bukan hanya hal-hal yang menyangkut transaksi keuangan yang akan digantikan oleh sistem online, bidang pendidikan pun akan menerapkan hal yang sama. 

Anak-anak atau mahasiswa tidak perlu lagi ke sekolah, tetapi hanya mendengarkan ceramah lewat media online, bahkan suasana mirip ruang kelas pun bisa, di mana antara guru dan murid bisa saling berinteraksi secara langsung (live). Muridnya bisa saja ada di rumahnya di Boyolali, tetapi guru atau dosennya di Harvard.

Bagaimana dengan dunia hukum dan pengadilan? 

Kasus terbaru yang lagi rame antara Nuril Baiq dengan pihak pengadilan dapat menjadi renungan. Nuril Baiq, seorang wanita berstatus guru honorer di sebuah SMA negeri di Mataram. 

Dia divonis penjara 6 bulan dan denda sebesar Rp 500 juta dengan dakwaan menyebar status di media online yang membuat seseorang merasa ternista. Menurut Nuril, dia dirayu atau digoda dengan kata-kata tidak senonoh oleh oknum kepseknya bernama Mus lewat telepon. Tidak terima dengan perilaku oknum yang mestinya menjadi suri tauladan itu, Nuril merekam pembicaraan dan lalu mengunggahnya di medsos. 

Sang kepsek yang merasa dinista lalu mengadukan Nuril ke ranah hukum. Pengadilan Negeri setempat membebaskan Nuril karena tidak cukup bukti. Tetapi jaksa terus menindaklanjutinya hingga akhirnya Nuril divonis bersalah melanggar UU ITE tentang pencemaran nama seseorang. Kini Nuril menunggu putusan dari MA, apakah menguatkan vonis ini atau membatalkannya.

Kasus Nuril ini sebenarnya tidak perlu disikapi dengan sangat kaku oleh pengadilan. Gunakan saja hati nurani sebagai manusia (hakim), jangan malah terfokus pada ayat-ayat KUHP dan UU ITE. Maka tidak heran jika seorang pencuri sepotong roti karena lapar, divonis 3 bulan penjara, karena pengadilan menerapkan hukum secara kaku. Demikian pula dengan kasus Nuril. 

Mestinya kan dipertimbangkan pula latar belakang kejadian, di mana awalnya dia digoda dan diusili secara tidak senonoh. Pengadil hanya merujuk tindakan Nuril yang menyebar chat itu ke medsos, tanpa mau melihat latar belakangnya. Kalau tidak dilecehkan oleh oknum, Nuril pasti tidak akan melakukan hal yang dikategorikan sebagai pelanggaran UU ITE, bukan? 

Dalam kasus ini, hati nurani pengadil harus diutamakan, bukan malah terjebak harus menuruti kata dan kalimat yang tertulis dalam pasal-pasal. Kalau begini, mendingan hakim dan jaksa diganti dengan sistem online saja. Tinggal masukkan data-data pelanggaran ke mesin pengadilan online, lalu akan keluar  sanksi dan hukuman. Gitu aja kok repot (Gus Dur).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun