Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ganti Adu Penalti dengan "Fair Play"

3 Juli 2018   15:30 Diperbarui: 4 Juli 2018   10:21 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for penalti: foto bola.net


Pesta Piala Dunia 2018 Rusia ini diwarnai beberapa hal baru, sekalipun--mungkin--tidak semua berkenan bagi banyak pihak. Salah satuanya adalah penggunaan  VAR (video assistant referee). Sesuai namanya, teknologi ini digunakan untuk menjadi asisten wasit dalam mengawasi jalannya pertandingan lewat rekaman video. Bila terjadi pelanggaran yang mungkin luput dari perhatian wasit, dan tim yang merasa dirugikan melakukan aksi protes, maka wasit boleh memastikannya lewat monitor yang ada di pinggir lapangan. 

Ini bisa saja memakan waktu selama beberapa menit, dan tentu saja membuang-buang waktu. Dan yang lebih disayangkan adalah makin berkurangnya faktor-faktor manusiawi dalam pertandingan sepakbola. Sebab seringkali, justru kesalahan-kesalahan manusiawi itu menjadi bumbu penyedap dalam sebuah pertandingan sepakbola berskala besar, semacam Piala Dunia ini. 

Salah satu contoh: penggemar sepakbola di seluruh dunia pasti tahu apa yang dimaksud dengan "gol tangan Tuhan". Nah, ini salah satu bumbu penyedap dalam sejarah sepakbola, yang menarik untuk dikenang, terutama oleh orang-orang yang menyaksikannya langsung maupun lewat tayangan televisi pada 1986 silam.

Pada Piala Dunia 1986 di Mexico itu, 22 Juni 1986, pada babak perempat final, Inggris berhadapan dengan Argentina yang kala itu dimotori Diego Maradona. Argentina menang 2-1. Dua gol Argentina itu diborong oleh Maradona. Tapi gol pertamanya dia hasilkan lewat kibasan tangan saat meloncat mencoba menyundul bola yang posisinya di luar jangkauan kepalanya. 

Maradona ketika itu berduel di udara dengan Peter Shilton, kiper legendaris The Three Lions. Sang kiper Shilton kalah cepat menjangkau bola. Kibasan tangan Maradona yang jitu mengarahkan si kulit bundar ke gawang Inggris. Masuk! Wasit mengesahkannya diiringi protes para pemain Inggris. Argentina yang melaju ke semifinal dan akhirnya ke grand final melawan Jerman (Barat),menjadi juara dunia. Maradona menyebut golnya itu "gol tangan Tuhan", yang terus dikenang publik sepakbola, bahkan mungkin hingga hari kiamat. 

Hal yang juga baru di Piala Dunia 2018 Rusia ini adalah penentuan "pemenang" lewat penilaian fair play, berdasarkan kartu kuning/merah. Artinya, bila ada dua tim yang memiliki perjalanan persis sama, maka untuk menentukan siapa yang berhak maju ke babak berikut adalah yang dinilai lebih fair. Contoh kasus Grup H. Di sini ada Kolumbia, Jepang, Senegal, dan Polandia. 

Kolumbia yang menang dua kali dan kalah sekali memiliki nilai 6, dan menjadi juara grup. Tapi posisi runners up menjadi rumit karena Jepang dan Senegal sama-sama mencatat menang sekali, draw sekali dan kalah sekali. Nilai mereka pun "kembar" yakni 4. Akhirnya, penilaian didasarkan pada faktor fair play: Jepang yang mendapat lebih sedikit kartu kuning, dinyatakan lebih layak menjadi runners up, dan maju ke babak 16 besar.

Tentu saja akan banyak perdebatan dalam masalah ini, namun demi efisiensi waktu dan tenaga, mau tidak mau semua pihak harus menerimanya. Tapi yang pasti, sejarah baru dalam dunia sepakbola telah dicatat: pemenang dari dua tim yang mencetak hasil seri, ditentukan lewat fair play.

Menentukan pemenang lewat "kartu" mestinya tidak hanya untuk kasus semacam Jepang - Senegal ini, namun juga pada sistem gugur. Dalam babak 16 besar yang menerapkan sistem gugur, ada dua partai yang juaranya harus dipastikan lewat adu tendangan penalti. Hal ini karena kedua tim mencatat hasil draw, hingga perpanjangan waktu 2 x 15 menit. Rusia dan Spanyol bermain draw 1 - 1 dalam waktu normal ditambah perpanjangan waktu. Pemenang pun ditentukan lewat tos-tosan (penalti) yang dimenangkan Rusia 4 - 3. Tragis sebenarnya untuk Spanyol. Tapi apa mau dikata? Kejadian yang sama juga menimpa Kroasia dan Denmark. Ketika kedua tim sama kuat 1 - 1, akhirnya penalti diadakan, yang dimenangkan oleh Kroasia dengan 3 - 2.

Menentukan pemenang lewat adu penalti memang tidak adil, terlebih bagi pihak yang "kalah" akan terasa sangat menyakitkan. Sebab adu pinalti sama sekali tidak menunjukkan kualitas sebuah tim. Tos-tosan itu hanya bersifat untung-untungan. Seorang kiper kawakan pernah mengatakan, bagaimana pun hebatnya seorang kiper, dia tidak akan pernah tahu ke arah mana bola akan ditendang pengeksekusi. Kiper hanya bergerak refleks ke kanan atau kiri. Kalau arah bola tepat ke posisi kiper bergerak, maka kemungkinan besar bola tidak masuk gawang. Itu saja! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun