Kasus "penanaman" kembang plastik di trotar-trotoar DKI Jakarta belum lama ini, sontak menuai kecaman dari banyak pihak. Tidak ada satu pun yang dapat menjelaskan kebijakan ini. Dan tentu tidak ada seorang pun yang dapat membelanya. Apalagi di medsos sempat viral gambar seseorang yang seperti terhalang bunga plastik itu, saat melintas di trotoar. Maka sangat dipahami bila dalam waktu singkat kembang-kembang plastik  itu sudah dicabuti kembali.
Seperti diperkirakan, tidak ada seorang pun yang akan mengakui kalau "pembudidayaan" kembang-kembang plastik itu adalah idenya, atau perintahnya. Semua pihak saling tuding, dan menyalahkan. Uniknya pejabat yang mestinya bertanggung jawab penuh atas hal-hal semacam ini, justru mengatakan tidak tahu-menahu.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa kembang-kembang plastik itu program pemerintahan kota yang lalu. Tapi seingat saya, di era gubernur sebelumnya tidak pernah ada kembang-kembang plastik ditanam di trotoar. Entahlah masyarakat mungkin tidak memerhatikannya, karena dari hari ke hari kita hanya melihat demo menuntut gubernur mundur.Â
Menjadi kepala daerah, khususnya gubernur, lebih khusus lagi gubernur DKI Jakarta, tidak mudah. Kasus yang terjadi belakangan ini semakin menyadarkan kita bahwa untuk menjadi kepala daerah di kota metropolitan, gelar akademik berderet-deret tidak menjadi jaminan mutu.
Seorang gubernur harus inovatif, kreatif, konstruktif. Namun di atas segalanya itu, harus punya tabiat jujur, berani, tegas dan berintegritas, tidak mau tunduk atau disetir pihak-pihak tertentu.Â
DKI Jakarta adalah pusat pemerintahan negeri ini. Kota ini sekaligus menjadi barometer kota-kota di Indonesia. Apa yang dilakukan di DKI Jakarta, pasti menjadi patron, dicontoh kota-kota lain. Jakarta adalah kota metropolitan dan juga kota dunia.
Sebagai kota dunia, Jakarta harus modern dan bermartabat. Wajah Jakarta harus cantik, maka dia harus ditata rapi untuk menggenapi peruntukannya sebagai kota modern dan berkelas internasional.
Maka ketika kembang-kembang plastik ditanam di DKI, heboh pun tak terbendung. Sejatinya, DKI butuh banyak kembang, tapi kembang hidup, kembang asli. Tapi ironisnya, konon untuk memberikan tempat ke kembang-kembang plastik, banyak pohon hidup ditebang. Kembang yang hidup itu berfungsi banyak: menjadi penyejuk dan memberikan pemandangan indah alami. Akarnya yang menjalar di dalam tanah bisa menahan air dan sekaligus menguatkan struktur tanah. Maka kalau ada lahan kosong sebaiknya ditanami saja pohon atau kembang hidup, bukan pohon plastik.Â
Bukan hanya pohon plastik yang menjadi masalah di DKI saat ini. Yang paling urgen adalah penutupan Jalan Jatibaru. Sejak menjadi orang nomor satu di DKI, Anies Baswedan "memberikan" Jalan Jatibaru untuk para pedagang (PKL). Kebijakan yang sangat kontradiktif dengan gubernur sebelumnya.Â
Gubernur Joko Widodo, Ahok, telah "berjuang" mengembalikan kawasan Tanah Abang ke peruntukannya, sebagai jalan raya. Tapi ibarat orang sudah mengepel dan membersihkan lantai hingga mengkilap, namun orang "iseng" menumpahkan kopi setelah orang yang membersihkan tadi itu berlalu. Dan lantai dibiarkan tetap begitu, kotor dan semrawut.