Final sudah. Upaya peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh tim kuasa Ahok kandas. Majelis hakim menolak permohonan tersebut pada 26 Maret 2018. Artinya harapan Basuki Tjahaja Purnama--nama asli Ahok--dan para pendukungnya keluar dari tahanan, sirna sudah. Ahok terpaksa menjalani sisa masa hukumannya hingga tuntas.
Sebagaimana kita ketahui, mantan gubernur DKI Jakarta ini telah divonis hukuman penjara selama dua tahun oleh majelis hakim, atas perkara penistaan agama. Peristiwa yang mengubah hidup Ahok ini berawal saat kunjungan resminya ke Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, pada September 2016. Seperti biasa, Ahok yang bicara ceplas-ceplos, dalam pidatonya di hadapan warga dan pemerintah setempat antara lain mengatakan agar jangan mau dibodohi "pakai" surah Al Maidah 51 dalam pilkada DKI. Sebagaimana biasa setiap acara resmi pemerintah DKI, pidato ini juga di-upload ke Youtube, dan tidak ada masalah.
Heboh nasional baru terjadi ketika seseorang bernama Buni Yani mengedit pidato tersebut dengan cara menghilangkan kata "pakai", lalu menyebarnya di akun Facebook miliknya. Apes bagi Ahok, dirinya yang tidak pernah sepi dari demo supaya mundur dari kursi gubernur DKI, semakin terpojok. Hampir tiap pekan ada demo besar-besaran dari beberapa ormas Islam yang selama ini mendesak Ahok melepas jabatannya. Yang paling fenomenal adalah demo yang berlangsung pada 2 Desember 2016, dan belakangan kondang dengan sebutan "212" yang konon dihadiri 7 juta orang di Monas!Â
Ahok mungkin saja merasa tertekan di Balai Kota, kantornya waktu itu. Dia sendirian di antara kepungan jutaan massa yang tiada henti meneriakkan namanya: "Hukum Ahok!" dsb. Ahok pasti merasa sendirian, sebab tidak ada massa tandingan  yang membela dirinya. Di Balai Kota, kantornya mungkin dia hanya ditemani sang istri, dan pejabat-pejabat setempat. Dan Ahok ketika itu pasti tidak memperlihatkan kegalauan dan kegelisahan hatinya. Mungkin dia hanya bercanda dan bercanda, sekalipun mungkin jiwanya sedang tertekan hebat! Manusiawi.
Namun di balik itu, kita semua pasti kagum kepada mantan bupati Belitung Timur tersebut. Dia tetaplah sosok yang hebat, sebab dia bisa menghimpun jutaan massa, sekalipun bukan dalam suasana yang membuat haru atau bangga. Michael Jackson atau Lionel Messi saja pasti tidak akan bisa membuat sejuta orang berkumpul. Tetapi, Ahok? Luar biasa!
Ahok memang sosok yang luar biasa. Dalam sosok dan wajahnya yang jauh dari kesan sangar itu, bersemayam nyali yang sangat besar, pendirian yang teguh, dan juga welas asih. Dia garang dan tegas terhadap orang-orang yang nyata-nyata melanggar hukum sekalipun si pelanggar hukum itu tampak memelas. Bukti paling gamblang adalah ketika menggusur masyarakat yang berdomisili di tempat yang tidak semestinya. Kejam dan sadis, tidak berperi kemanusiaan. Itu kesan umum. Tapi ternyata tidak, sebab Ahok lebih dahulu membuatkan permukiman yang jauh lebih layak dan manusiawi bagi mereka di rumah susun.
Di balik "kekejaman" Ahok itu, sesungguhnya terdapat nilai yang sangat luhur dalam memanusiakan manusia. Warga yang menempati bantaran sungai secara ilegal akan diputus generasinya. Bila Ahok tidak memindahkan mereka, bisa jadi hingga dunia kiamat, penghuni dan keturunannya akan tetap berdomisili di tempat yang tidak layak itu. Apalagi toh, itu bukan hak milik mereka dan sewaktu-waktu bisa digusur. Coba apabila misalnya pihak lain yang menggusur, pasti tidak ada disiapkan tempat penampungan semacam rumah susun ala Ahok. Ibarat mendidik anak yang malas supaya rajin mandi, orang tua perlu menghukum dengan keras. Sebab bila ketagihan tidak suka mandi, sang anak akan kotor dan panuan.
Semasa jadi orang nomor satu di Ibu Kota, Ahok membuka mata semua orang tentang bagaimana seharusnya mengelola suatu pemerintahan yang jujur dan transparan. Berkat Ahok, kita semua jadi paham bahwa ternyata selama ini banyak kongkalikong dimakinkan para politikus yang berlindung di balik nama rakyat, menggerogoti uang rakyat lewat permainan angka-angka di anggaran daerah. Siapa yang tidak tercengang ketika berdasarkan penelusuran Ahok, ada dana siluman yang jumlahnya belasan triliun rupiah di anggaran daerah?
Dengan segala sepak terjangnya yang nyeleneh itu, wajar saja bila kemudian Ahok dimusuhi banyak pihak. (Sekalipun nyata-nyata jauh lebih banyak yang mendukung dan mengaguminya, namun itu hanya kekuatan yang sifatnya silence). Ditambah lagi statusnya sebagai warga dari kalangan minoritas, dirasakan sebagai "ganjalan" oleh pihak-pihak yang merasa diri superior di negeri ini. Doa dan harapan the haters itu seolah terjawab ketika Ahok terjerumus ke dalam kubangan "penista agama" itu. Mereka ibarat menemukan lubang untuk menjungkalkan Ahok. Dan jutaan orang perlu turun, dari seluruh pelosok Tanah Air pula, untuk menggusurnya dari kursi gubernur DKI! Sekali lagi, jutaan massa turun untuk melawan seorang Ahok. Dahsyat!
Puncaknya, Ahok kalah dalam pilkada yang "kontroversial", Â dan divonis bersalah pula dalam kasus yang menjeratnya. Selesai sudah perjuangan Ahok. Dia melepaskan jabatannya dan meringkuk di sel, sekalipun jutaan orang meratapi dan menyesalinya. Tapi, hukum dan keadilan seringkali hanya sekadar tertulis rapi di atas kertas. Â Dan itu pula mungkin yang terjadi ketika PK Ahok ditolak oleh majelis hakim Mahkamah Agung.Â
Hingga di sini saya tetap berkeyakinan bahwa yang namanya hukum dan keadilan tetaplah hanya catatan, yang dapat dibarter atau diabaikan demi sejumlah pertimbangan: Ini tahun politik, Bung, sebaiknya jangan bikin gaduh dulu!