Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok Bebas Bila Hukum Punya Nyali

27 Februari 2018   14:52 Diperbarui: 28 Februari 2018   10:15 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama Ahok tiba-tiba terbit lagi. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini bercahaya lagi ketika tim kuasa hukumnya mengajukan pemohonan PK (Peninjauan Kembali) atas perkara yang membuat Basuki Tjahaja Purnama--nama asli Ahok--mendekam di bui untuk jangka waktu dua tahun. Bila dirunut dari awal dia masuk sel, sampai kini dia telah menjalani masa hukuman selama sembilan bulan. Tentu bukan karena Ahok tidak ikhlas menjalani hukuman itu, namun dinamika di luar sel pun turut memberi dorongan supaya Ahok mengajukan PK.

Sebagaimana diketahui dunia, Ahok dipenjara atas tuduhan telah menista keyakinan orang lain gara-gara menyebut nama salah satu surat dalam kitab suci. "Kesalahan" itu dilakukan Ahok ketika berpidato dalam kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, sekitar September 2016 silam. Sebagaimana biasa, acara kunjungan resmi Pemda DKI ini diunggah ke YouTube.

Naas bagi putra Belitung ini. Seseorang bernama Buni Yani mengedit dan menghilangkan satu kata "pakai" dari pidato Ahok itu, dan mengunggah video yang sudah "dikerjai" itu ke media sosial, disertai kata-kata pengantar yang memancing emosi orang. Ahok menista agama!  Dalam waktu yang tidak lama, aksi protes dan demo pun marak di seluruh Indonesia. Intinya menuntut Gubernur DKI Ahok mundur dari kursi jabatan, dan dihukum berat sebab telah menghina agama.

Momen ini tentu sangat disyukuri para pembenci Ahok yang selama ini sudah gusar, semenjak Ahok memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada) bersama Joko Widodo (Jokowi). Ahok menjadi wakil gubernur Jokowi. Protes semakin kencang ketika Jokowi naik menjadi presiden RI, dan otomatis sesuai undang-undang (UU), Ahok sebagai wagub yang menggantikannya menjadi gubernur DKI. Kelompok-kelompok anti-Ahok terdiri dari berbagai golongan dan motif. Golongan pertama adalah pihak-pihak yang tidak bisa bermain-main lagi dengan anggaran daerah (baca: korupsi). Yang kedua pihak-pihak yang tidak becus dan tidak disiplin dalam bekerja. Ahok tidak sungkan memecat kepala dinas, bahkan walikota yang dinilai "memble".

Dan yang ketiga adalah pihak-pihak yang mengusung sentimen agama yang dimotori oleh Habib Rizieq. Kelompok yang membawa-bawa agama ini, tidak sudi kalau Ahok yang tidak seagama dengan mereka menjadi pimpinan di daerah mereka. Mereka bagai mendapatkan angin buritan ketika video editan itu menjadi viral, dan memicu amarah di berbagai tempat. Upaya-upaya mereka selama ini yang terkesan "percuma" untuk menggulingkan Ahok, kini bagaikan mendapat bantuan tenaga ekstra. Dengan menggalakkan demo demi demo--yang diklaim mereka pernah diikuti hingga 7 juta massa-- menuntut penista agama dihukum, kasus Ahok pun masuk pengadilan.

Setelah menjalani belasan kali persidangan, yang selalu diramaikan massa yang menuntut Ahok dihukum berat, majelis hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara. Di lain sisi, aksi masif dan berkesinambungan menolak Ahok mulai memperlihatkan hasil ketika Ahok dan pasangannya Djarot, gagal memenangkan Pilkada DKI (2017 - 2022). Pejabat inkumben dikalahkan oleh Anies Baswedan - Sandiaga Uno.

Ahok boleh saja masuk penjara dan ikhlas menjalaninya. Tapi bagi banyak orang, proses ini tidak adil. Apakah Ahok bersalah? Apa salah Ahok? Pertanyaan ini terus bergulir di pikiran banyak orang, khususnya kalangan yang netral dan pendukung Ahok. Apalagi banyak orang (ulama) yang berpendapat bahwa berkaitan dengan pidato di Pulau Seribu itu, Ahok tidak menista agama. Proses pengadilan boleh saja berlangsung, tetapi tekanan massa yang terus-menerus mungkin menjadi pertimbangan majelis pengadil. Kalau ini benar, maka sesuatu yang ironis di mana keadilan kalah oleh tekanan massa!

Setelah sembilan bulan mendekam di tahanan Mako Brimob Depok, tim kuasa Ahok mengajukan PK. Petimbangannya antara lain adalah dengan membandingkan vonis Ahok dengan  Buni Yani. Hakim Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, menilai Buni Yani secara sah dan terbukti melakukan pemotongan video Ahok di Kepulauan Seribu. Tapi  Buni Yani divonis hanya 1,5 tahun penjara karena dianggap melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Tidak usahlah kita berkomentar banyak tentang keanehan putusan pengadilan yang tidak sinkron ini. 

Bagaimana nanti hasil akhir PK Ahok? Ketika pihak Ahok mulai menyiapkan upaya pembebasan Ahok lewat PK, golongan anti-Ahok segera bereaksi. Mereka menyebar tuntutan agar PK Ahok ditolak hakim, disertai berbagai ancaman. Diwarnai aksi demo--kelompok yang menolak PK versus yang mendukung Ahok bebas, Majelis Hakim PN Jakarta Utara, 26 Februari 2018, menerima permohonan PK ini dan langsung meneruskannya ke Mahkamah Agung (MA).   Sekarang tergantung benteng terakhir pengadilan negeri ini, apakah mau tunduk  pada tekanan massa (lagi), atau memenangkan keadilan sebagai mana mestinya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun