Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang gemar mengklaim diri sebagai wakil rakyat, penyampai aspirasi rakyat, penyambung lidah rakyat, yang memperjuangkan hak-hak rakyat, dst., baru-baru ini sukses merevisi dan mengesahkan sebuah undang-undang yang disebut dengan UU tentang MPR, DPR, DPRD, DPD atau disingkat MD3.Â
Dalam UU itu antara lain ada pasal 73 yang mewajibkan polisi membantu memanggil paksa seseorang atau pihak-pihak yang akan diperiksa DPR, namun enggan datang. Ada dugaan, pasal ini dibikin oleh DPR karena beberapa waktu lalu KPK tidak datang ketika dipanggil oleh Pansus Angket KPK. Selanjutnya, ada Pasal 122 yang membuat DPR, melalui MKD, bisa mempidanakan orang-orang yang dianggap merendahkan DPR dan pribadi anggota DPR.
Presiden Joko Widodo hingga kini memang belum membubuhkan tanda tangan pada draf revisi ini. Dan tanda tangan presiden memang tidak terlalu berpengaruh, sebab UU yang sudah disahkan oleh DPR secara otomatis berlaku setelah 30 hari. Dan sebagaimana diperkirakan, masalah tanda tangan presiden ini menjadi bahan yang enak dan lezat untuk digoreng pihak-pihak yang selama ini selalu berusaha mencari "seberkas cahaya" untuk mengganggu pemerintah. Awalnya pihak-pihak ini menyalahkan Menteri Hukum dan HAM dengan tudingan tidak berkomunikasi tentang revisi ini ke atasannya, Presiden Jokowi.Â
Di saat yang sama, mereka mempertanyakan Kepala Negara yang tidak bisa mengurus kabinetnya. "Bagaimana bisa mengurus negara dan bangsa yang luas dan punya rakyat ratusan juta, sementara mengrusi anggota kabinetnya saja tidak becus?" Demikian kata-kata mereka, yang mendadak merasa paham urusan negara.
Merasa revisi UU ini kebablasan, secara spontan banyak masyarakat menyatakan keberatan dan protes. Tapi, sebagaimana diperkirakan, Ketua DPR mempersilahkan elemen masyarakat supaya mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi bagaimana masyakat bisa mengharapkan sebuah keputusan yang fair dari sebuah lembaga di mana ketuanya dinilai memiliki banyak "catatan" yang tidak elok dibaca?
Yang jelas, saat ini sedang banyak elemen masyarakat yang menuntut Ketua MK Arief Hidayat agar mengundurkan diri dari jabatan mulia tersebut. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 54 profesor dari sejumlah perguruan tinggi mendesak Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat untuk mundur. "Sebanyak 54 guru besar menyikapi kondisi dan situasi di mana Ketua MK sudah cukup melanggar etik sebagai ketua maupun hakim MK," kata pengamat hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, dalam konferensi pers di STHI Jentera, Jakarta, Jumat, 9 Februari 2018 (tempo.co, 9 Februari 2018)
Nah, dengan kondisi MK yang sedemikian rupa, lalu apa yang bisa diharapkan nantinya? Apalagi masyarakat masih trauma dengan keputusan MK belum lama ini yang mengesahkan keberadaan Pansus Angket KPK. Mestinya, dengan semangat memberantas korupsi dari negeri ini, KPK harus didukung penuh, dan dibebaskan dari rongrongan pihak-pihak yang berambisi melemahkan atau bahkan melenyapkan lembaga pemberantas maling ini. Namun apa lagi yang bisa dikatakan ketika KPK pun seolah dibiarkan berjuang sendirian untuk memberantas korupsi yang membuat rakyat sengsara selama puluhan tahun?
Apakah DPR benar-benar wakil rakyat? Mewakili rakyat? Kalau "iya", kenapa terkesan membentengi diri dari masyarakat? Rakyatlah yang memilih sehingga anggota DPR ada. Rakyatlah yang berdaulat penuh. Rakyatlah yang menjadi bos di negara berpaham demokrasi, seperti NKRI ini. Lalu kenapa DPR seolah tidak sudi kalau diperhatikan, dikritisi oleh rakyat, dan lalu menggulirkan UU yang antara lain membolehkan "wakil" menangkap "bos/atasan" yang dinilai merendahkan dan menghina martabat "wakil?"
Di samping membuat UU, bidang anggaran dan pengawasan pemerintah, tugas dan wewenang DPR, antara lain: menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Perhatikan frasa: "menindaklanjuti aspirasi masyarakat", bukan menindak masyarakat!Â
Dengan memahami frasa singkat ini saja, sudah sangat jelas bahwa revisi UU MD3 itu, terutama tentang "memanggil paksa dan menyandera" sudah tidak pada tempatnya, karena itu sudah masuk ranah pengadilan.
Maka berkaca dari keanehan ini, sudah pada tempatnyalah kita mempertanyakan niat pihak-pihak yang menyoal bahkan cenderung berusaha memojokkan posisi Presiden soal UU MD3 ini. Sekarang yang perlu marilah kita dukung penuh elemen masyarakat yang menggugat revisi UU MD3 ini, sambil berdoa kiranya Tuhan menerangi pikiran dan hati nurani para hakim konstitusi supaya mengembalikan posisi rakyat sebagai pihak yang paling berdaulat di negeri ini, yang tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh "wakil" mereka.