Dalam tinjauan kebangsaan dan kewarganegaraan negara, tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Karena semua telah sama dalam kewarganegaraan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama. (Quraish Shihab)
Ekskursi ke Pondok Pesantren Muhammadiyah Al Furqon di Tasikmalaya menjadi pengalaman berharga bagi kami, siswa Kolese Kanisius. Tiga hari yang saya habiskan bersama para santri membuka mata saya akan kekayaan keberagaman dan kekuatan persatuan bangsa Indonesia. Ekskursi ini adalah pengalaman lintas budaya yang mengajarkan kami banyak hal tentang perbedaan gaya hidup dan nilai-nilai yang menyatukan kita sebagai anak bangsa.
Dua Dunia yang Berbeda
Gaya hidup kami dan para santri sangat berbeda. Para santri memulai hari mereka dengan salat subuh berjamaah, menjalani kehidupan tanpa ponsel, dan belajar bahasa Arab sejak usia muda. Mereka tinggal bersama di pondok, menjalani kehidupan yang penuh kedisiplinan. Di sisi lain, kehidupan kami di Jakarta sangat terintegrasi dengan teknologi. Kami tinggal bersama keluarga, belajar dalam bahasa Indonesia dan Inggris, dan mengandalkan media sosial sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, ekskursi ini memperlihatkan bahwa ada nilai-nilai universal yang tetap sama.
Hari pertama kami tiba di pesantren, kehangatan para santri langsung terasa. Mereka menyambut kami dengan senyum ramah, meski kehidupan kami jauh berbeda. Akomodasi sederhana tetapi bersih dan nyaman mencerminkan ketulusan mereka. Di sore hari, kami bermain futsal bersama, sebuah kegiatan yang langsung mencairkan suasana. Dalam permainan itu, batas-batas sosial dan budaya mencair, digantikan oleh tawa dan semangat kebersamaan. Futsal menjadi jembatan pertama yang menghubungkan kami dengan mereka, menunjukkan bahwa kebersamaan tidak selalu membutuhkan kesamaan.
Malam hari, kami makan bersama di sebuah ruang yang sederhana tetapi penuh dengan kehangatan. Di sela-sela suapan, diskusi-diskusi tentang pendidikan, politik, dan pandangan hidup menjadi momen refleksi bagi saya. Para santri, yang awalnya saya kira hanya fokus pada kehidupan pesantren, justru menunjukkan wawasan yang luas tentang pentingnya pendidikan formal. Saya melihat mereka sebagai pribadi-pribadi yang tidak hanya disiplin tetapi juga berpikiran terbuka. Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa mereka memiliki wawasan yang jauh lebih luas daripada yang saya bayangkan.
Pendidikan sebagai Jembatan Persatuan
Salah satu hal yang paling saya kagumi dari para santri adalah antusiasme mereka dalam belajar. Di pesantren, kegiatan belajar tidak hanya dilakukan di pagi hari seperti sekolah pada umumnya, tetapi juga berlangsung hingga malam hari. Mereka memiliki semangat luar biasa dalam mempelajari berbagai hal, baik pelajaran formal maupun keterampilan hidup. Pada malam kedua, saya mendapatkan kesempatan berbagi ilmu tentang public speaking dan debat. Pengalaman itu sangat berkesan karena saya diundang berbicara di masjid mereka, tempat yang begitu penting bagi komunitas tersebut. Awalnya, saya gugup, tetapi sambutan hangat mereka membuat saya merasa dihargai dan diterima.
Saya terkesan melihat bagaimana mereka begitu antusias mempraktikkan apa yang saya sampaikan. Tidak hanya itu, saya juga mengetahui bahwa beberapa dari mereka aktif belajar catur dan Scrabble, bahkan pernah berkompetisi di lomba Scrabble tingkat nasional. Semangat ini menunjukkan bahwa fokus mereka pada pendidikan tidak hanya terbatas pada pelajaran agama, tetapi juga pada pengembangan keterampilan yang lebih luas. Dalam hal ini, saya merasa kami memiliki kesamaan: baik kami maupun mereka percaya bahwa pendidikan adalah kunci masa depan.
Pendidikan adalah salah satu jembatan terkuat untuk menyatukan bangsa yang beragam seperti Indonesia. Baik kami maupun para santri memiliki pandangan yang sama bahwa pendidikan adalah kunci masa depan. Antusiasme untuk belajar, berkembang, dan berkompetisi melampaui perbedaan latar belakang kami. Pendidikan tidak hanya membantu kami mencapai cita-cita, tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan lintas budaya dan agama. Seperti kata Quraish Shihab, dalam negara, tidak ada mayoritas dan minoritas—kita semua setara dalam kebangsaan. Pandangan ini menegaskan bahwa pendidikan adalah kunci untuk menciptakan rasa saling menghormati dan memahami.