Mohon tunggu...
Hans Panjaitan
Hans Panjaitan Mohon Tunggu... -

Biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jomblo Mencari Cinta (3)

7 Oktober 2014   03:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:07 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413670504602191832


BAGIAN 3

NEKAT

ESOK harinya. Bel tanda jam istirahat berdentang kencang. Namun gemuruh di dada Poltak Suhardo terasa jauh lebih kencang dibandingkan suara pesawat Boeing 737 saat lepas landas atau take off. Rasa takut, gelisah, optimis, ragu, malu, mual...bercampur baur silih berganti. Wajahnya tampak tegang. Badannya gemetaran saat bangkit dari tempat duduk. Keringat dingin membasahi kemeja putihnya. Sebelum keluar dari kelas dia menoleh ke arah Freddy yang mengacungkan jempol sambil tersenyum. Poltak mengangguk, dan bergegas menuju lapangan volly, di mana Rosita dan kawan-kawannya biasa berkumpul saat jam istirahat.

Nah, itu dia Rosita bersandar pada tiang net.

Poltak Suhardo pura-pura berteriak memanggil nama temannya yang berdiri dekat Rosita dengan suara yang sangat kencang. Semua menoleh ke dia, termasuk Rosita. Melihat topi yang bertengger di kepala Poltak, Rosita seperti naik nafsu. Dan kelihatan mulai ambil ancang-ancang merebut topi itu, sambil mempermalukan Poltak.

Poltak yang sudah bisa membaca gelagat ini, memberlakukan status waspada 24 jam! Dengan naluri yang terpasang ketat, Poltak berjalan pelan menuju pintu gerbang utama yang hanya sepuluh meter dari lapangan volly. Di samping pintu gerbang itu ada bangunan gudang. Di sebelahnya ada jalan kecil menuju pintu keluar kompleks sekolah. Banyak siswa yang keluar melalui gang kecil ini pada waktu bubar sekolah. Di luar jam bubar sekolah, jalan kecil itu biasanya sepi. Baru ramai kalau pas pulang sekolah. Rencananya, di situlah nanti Rosita akan dijebak oleh Poltak!

Sampai sejauh itu rencana Poltak sukses. Rosita masih menguntitnya. Hal itu bisa dia ketahui mendengar suara-suara dari arah lapangan volly yang menggoda-goda dan memanasi Rosita. Lewat lirikan dari sudut matanya, Poltak masih bisa melihat saat Rosita memutar wajahnya ke arah teman-temannya sambil menyilangkan jari telunjuknya di mulut: “Ssst....diam..”

Nah, di sudut yang tidak terlihat lagi oleh orang-orang, Poltak pura-pura asyik membaca selebaran kampanye pemilihan calon ketua kelas OSIS yang tertempel di tembok gudang itu. Tapi dia tahu bahwa Rosita sudah mendekat dengan cara mengendap-endap. Dan ketika Rosita sudah mengulurkan tangan ke arah topi, Poltak segera balik badan, dan mencengkeram tangan Rosita. Dengan tergesa-gesa dan napas ngos-ngosan Poltak berusaha mendaratkan bibirnya ke pipi Rosita. Cewek itu mengelak dan berontak. Mulut Poltak tidak berhasil mendarat di tubuh Rosita, hanya aroma wangi parfum gadis manis itu yang sempat dinikmati Poltak.

“Hei hei...kau ini mau apa, hah!!!?” teriak Rosita. “Botak, jelek, sontoloyo kau!” makinya dan berlari kembali ke arah lapangan volly.

Poltak melongo. Sulit mempercayai apa yang baru saja dia lakukan. Dia takut kalau Rosita mengamuk, marah besar atau menangis histeris. Bila Rosita membeberkan kasus ini, pasti gemparlah sekolah. Poltak tidak hanya malu, tetapi bisa dipecat karena merusak nama baik sekolah. Itu pun masih mending. Tapi bagaimana kalau Rosita dan keluarganya sampai membawa masalah ini ke ranah hukum? Bisa-bisa Poltak masuk penjara dengan tuduhan melakukan percobaan pemerkosaan, atau paling ringan dituduh melakukan tindakan yang tak menyenangkan. Kalau diambil jalan damai ketimbang masuk penjara, sudah pasti bapaknya akan mengeluarkan banyak uang untuk damai. Tapi yang jelas, nama keluarga pun ikut tercoreng, ternoda. Sakitnya memang tak seberapa, tapi malunya ini, bah!

Tapi Poltak merasa bersyukur. Rosita ternyata tidak pernah menyebarluaskan peristiwa ini, sehingga tidak ada gejolak serius di sekolah dan sekitarnya. Mungkin gadis cantik itu hanya bercerita kepada beberapa teman dekat sambil bisik-bisik. Tapi yang jelas, sejak saat itu Rosita tidak pernah lagi kesengsem dengan topi merah Poltak. Betapapun Poltak mencoba memancing-mancing agar Rosita merebut topinya lagi, suasana tetap saja sepi dan mencekam! Poltak berjanji dalam hati akan merelakan saja topi itu dimiliki Rosita bila nanti cewek itu merampasnya lagi.

Tapi hingga topi itu mulai berwarna buram dan bentuknya mulai melepuh, layu, Rosita tidak pernah lagi meliriknya. Rambut di kepala Poltak sudah mulai tumbuh dengan lebat, dan hitam mengkilap. Tanpa ada sehelai uban lagi. Akhirnya topi itu digantungkan Poltak di tiang jemuran kantin sekolah. Besoknya topi itu sudah nangkring di kepala tukang kebun sekolah.

Semenjak upaya penciuman Rosita yang gagal itu Poltak Suhardo yang malang pun semakin nelangsa. Bila selama ini masih ada satu dua cewek yang melirik dan menyapa dia, namun setelah kejadian itu semakin menjauh pulalah para cewek dari dia. Sebab bagaimanapun juga, adegan memalukan di samping gudang itu sudah menjadi “bisik-bisik tetangga” terutama di kalangan siswi teman-teman Rosita.

Poltak yang malang. Alih-alih dapat cewek untuk temannya melewatkan malam minggu. Di rumah, kalau ada waktu luang di sore hari, Poltak Suhardo menumpahkan rasa sesal dan kecewanya lewat grenjengan gitar. Sebuah lagu berjudul “Akhir Cinta” dari band legendaris Benny “Panbers” pun senantiasa dia nyanyikan. Terasa sekali rasa sendu di batinnya saat menyanyikan refrain lagu tersebut:

Aku gagal....kali ini...”

Saban sore menyanyikan lagu itu melulu, ibunya pun dibuat kesal.

“Memangnya di dunia ini tidak ada lagu lain lagi?! Kok lagu itu terus yang kau nyanyikan,” protes ibunda ketika rasa kesalnya sudah tidak bisa diajak berdamai.

Poltak buru-buru sadar. Selama ini ibunya ternyata memperhatikan kegalauan hatinya. Dia takut bila ibundanya menginterogasi kenapa akhir-akhir ini dia selalu menyanyikan lagu itu dengan nada sendu dan penuh penghayatan. Bukan apa-apa, soalnya ibunya itu orangnya punya sifat penasaran yang kuat. Kalau tidak bisa mengorek keterangan yang dirasa jujur dari Poltak, bisa-bisa perempuan setengah baya ini mencari info ke orang lain. Bila perlu sampai ke lingkungan sekolah.

Apalagi bunda ini punya banyak kenalan teman siswi Poltak, karena ibu mereka tergabung dalam arisan ibu-ibu siswa-siswi SMA N 1. Bisa gawat. Maka dia buru-buru mengganti nyanyiannya dengan lagu dangdut berlirik sendu namun berirama riang. Dia berdendang sambil menggoyang-goyangkan kepala dan badan: “Oh ...ya nasibya nasib...mengapa begini...baru pertama bercinta sudah menderitaaaaaaaaaaaaaaaaa...”

“Nah, gitu dong. Girang selalu, itu penting dan harus,” kata ibunya seraya mengacungkan jempol. “Sebab, hati yang gembira adalah obat,” lanjut ibunya. {} BERSAMBUNG...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun