Mohon tunggu...
Hans Panjaitan
Hans Panjaitan Mohon Tunggu... -

Biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jomblo Mencari Cinta (31)

21 Oktober 2014   03:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:19 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

31

Nasib, oh nasib...

BESOK paginya. Setelah mandi dan sarapan pagi, Poltak sengaja mengenakan celana panjang blue jeans yang dia beli di Mall of Indonesia (MOI) Kelapa Gading,Jakarta, setelah seminggu tinggal di rumah pamannya, di Tanjungpriuk, Jakarta Utara.Dan yang tak boleh diabaikan adalah kaos T-shirt warna biru bertuliskan nama almamaternya “INJAK – Institut Jurnalistik Jakarta”. Kaos itu dia pakai dengan penuh rasa bangga dan sukacita. Jaket almamater pun dia kenakan dengan hikmat dan penuh ucapan syukur. Sebab toh tidak semua anak muda di kampung ini bisa kuliah seperti dirinya. Kuliah di Jakarta pula. Rosita yang tidakkuliah sudah pasti akan terkagum-kagum.

Dengan girang Poltak memeriksa penampilannya di depan cermin. Belum lengkap. Kaca mata hitam milik bapaknya yang tergeletak di atas mesin jahit dia sambar dan pakai. Cocok dan nyaman! Dia kembali lagi ke depan cermin.

Sulit baginya mempercayai saat melihat yang muncul di cermin itu adalah sesosok ArnoldSchwarzenegger, yang main dalam film Terminator. Itu salah satu film favorit Poltak. Sementara Rosita sangat mengidolakan aktor Arnold Schwarzenegger.Klop! Cuma, yang muncul kali ini adalah ArnoldSchwarzenegger dalam versi kurus kerempeng.

Kunci sepeda motor yang tergantung di kamar orang tuanya dia ambil. Dengan langkah tenang dan berwibawa dia keluar dari rumah. Dengan hati-hati dia menggiring sepeda motor ke luar pekarangan. Dan,brommm ........... dia sudah melaju di jalan raya. Rumah Rosita adalah tujuan. Sepeda motor tidak terlalu kencang dijalankan, takut rambutnya yang sudah rapi berantakan tertiup angin.

Seperempat jam kemudian dia sudah memasuki ke pekarangan rumah sang gadis idaman. Ibu Rosita yang berdiri di samping pintu pagar, sambil menaburkan padi ke ayam-ayam peliharaannya, memerhatikan pengendara yang memasuki kawasan rumahnya dengan cermat. Dari kejauhan, wanita setengah tua ini sempat mengira bahwa yang datang itu tukang kredit. Namun setelah dekat, perempuan ini langsung dapat mengenali Poltak yang walaupun tampil gaya dengan kaca mata hitam. Poltak dapat melihat kalau wajah perempuan yang sebaya dengan mamanya ini tampak semakin tua dan tidak bahagia.

Eh... si Poltak. Kau itu rupanya ya. Kapan kau datang dari Jakarta? Katanya kau sekolah di Jakarta ya?” sapa mama Rosita sambil terus mengamati Poltak.

Poltak mengulurkan tangan. Bersalaman. Dia senang bukan main, sebab ibunya Rosita menyambutnya dengan ramah. Baginya ini pertanda baik kalau segala sesuatunya akan lancar, aman dan terkendali.

“Rosita mana, Bu?” kata Poltak bersemangat.

Tapi ibu yang sudah menjanda itu tidak langsung menjawab. Dia justru terkesan pura-pura tidak mendengar dan kembali menaburkan biji-biji padi ke anak-anak ayam dan induknya yang segera menyerbu butiran-butiran itu begitu menyentuh tanah.

“Rosita di mana Bu? Boleh saya ketemu?” Poltak “Schwarzenegger” Suhardomengulangi pertanyaannya.

“Ah... Poltak. Percuma saja. Belum tentu dia mau menemui kau nanti,” jawab ibu itu seperti menahan tangis. “Lebih baik kau pulang sajalah. Salam sama mama kau ya...”

“Lho, memangnya kenapa Bu?” Poltak bingung. Pertanyaan yang sama dia ulangi beberapa kali. “Memangnya ada apa dengan Rosita, Bu?” Wajah Poltak mulai tegang dan khawatir.

“Dia pasti malu ketemu kau, Poltak!” suara ibu yang sudah lama menjanda itu semakin memelas. Kini dia terlihat menghapus wajahnya yang mulai basah oleh air mata dengan punggung tangan kanannya.

“Ada apa Bu yang sebenarnya. Apa yang terjadi dengan dia? Kenapa dia malu ketemu aku? Tolonglah dikasih tahu kalau aku datang. Atau biar aku saja yang menemui di dalam rumah?” Poltak semakin penasaran. Kaca mata hitamnya dia buka.

“Ayo kita masuk ke dalam rumah saja. Mudah-mudahan nanti dia mau keluar dari kamarnya menemui kau,” kata ibu itu.

Di ruang tamu, Poltak duduk di sofa dengan harap-harap cemas. Dirinya tidak habis pikir, kok rencananya menemui cewek yang dia sukai selalu tidak pernah berjalan dengan mulus. “Ada apa dengan diriku? Ada apa dengan Rosita?” teriaknya dalam hati.

Ibu Rosita sudah lama masuk ke dalam, namun tidak ada tanda-tanda balik lagi ke ruang tamu. Mungkin ibu itu sudah keluar dari pintu belakang. Rumah mereka memang luas. Kamar tidur Rosita ada di pojok belakang. Rosita anak sulung. Bapaknya pensiunan pegawai kabupaten, meninggal dunia sewaktu Rosita kelas 3 SMP. Dua adiknya tidak ada di rumah pagi itu. Satu orang berjualan di pasar, dan yang bontot menjadi pegawai honorer di kantor kabupaten menggantikan almarhum bapaknya.

Setelah menunggu kira-kira dua puluh menit. Poltak terhenyak menyaksikan Rosita muncul dari balik gorden tipis yang menjadi tirai pemisah ruang tamu dengan ruangan tengah. Tidak ada yang aneh. Rosita masih tetap cantik menawan, sehat walafiat. Cuma kelihatan sedikit lebih gemuk.Dia menghampiri Poltak dengan senyuman manisnya.

Tapi setelah dekat, barulah Poltak sadar bahwa badan wanita pujaannya itu memang sedikit berobah. Dia sepertinya hamil! Tetapi siapa suaminya? Kalau dia sudah menikah, ibunya pasti sudah memberitahu dari tadi.

Apa kabar?” sapa Rosita dengan senyum yang dipaksakan. Hambar mendekati pahit.

Baik dan sehat, masih seperti yang dulu,” jawab Poltak seraya berdiri menyalami Rosita. Matanya tidak lepas dari perut Rosita yang menggelembung. Hatinya kecewa, marah, pilu, dan ingin berlari saja dari rumah itu. Dia bingung tidak tahu harus mengatakan apa.

Beberapa menit keduanya diam. Rosita kebanyakan menunduk. Sangat beda dengan di masa SMA dulu, dia begitu “galak” bila berhadapan dengan Poltak. Sekarang Rosita seperti tidak berkutik dan rendah diri di hadapan Poltak.

Ada apa yang terjadi? Tadi ibu kamu kok sulit sekali mau mempertemukan aku dengan kau?” tanya Poltak.

Ibu merasa malu karena aku hamil padahal belum married,” kata Rosita dengan lirih. Air matanya pun tumpah.

Bisa kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?” bujuk Poltak. Hampa.

Freddy. Dia laki-laki pengecut yang tidak mau bertanggung jawab,” kata Rosita geram.

Hah?! Freddy teman sekelasku dulu?” Poltak kaget tidak alang-kepalang.

Ya. Setelah kita lulus UN, kami berdua sempat dekat dan akrab. Dia memang pandai merayu dan memperdayai wanita. Padahal dia berjanji akan bertanggung jawab, dan menikahiku. Tetapi setelah kuberitahu aku mulai ada tanda-tanda hamil, dia malah kabur. Tak ada yang tahu di mana rimbanya. Keluarganya bersikukuh mengatakan tidak tahu kemana dia pergi,” Rosita tampak semakin geram, namun air matanya juga ikut tumpah.

Ck ck ck. Yaaa, kau sabarlah. Berdoa, mudah-mudahan hatinya terbuka dan datang untukmu,” Poltak mencoba menghibur. Namun hati kecilnya hampa dan tidak rela.

Ah, sudahlah. Semua laki-laki memang begitu. Egois. Mau enaknya saja, tidak mau anaknya,” ketus Rosita.

Aku enggak seperti itu,” cetus Poltak. “Kalau aku yang membuat kau hamil, aku pasti bertanggung jawab. Sebab aku mau enaknya, mau anaknya, dan mau emaknya juga.”

Hahahaha....,” Rosita akhirnya tertawa juga mendengar gurauan Poltak. Tapi tetesan air mata tak bisa dia tahan. Sumpah. Wanita cantik ini kini menyesal kenapa dulu tidak menerima cinta Poltak? Tapi semua sudah terlambat. Sekarang dia merasa tidak layak di hadapan Poltak.

Di lain pihak, kisah dan kenyataan yang didapat telah membuat Poltak terhenyak. Dia bagaikan terdampar di alam mimpiyang sangat buruk, dan teramat mengerikan. Rasa kecewa dan sedih tidak terlukiskan. Dia merasa dikhianati. Dia merasa terhempas ke jurang penuh binatang berbisa. Dia ingin ketemu Freddy dan menghajar muka playboy kampung yang kampungan itu sampai bonyok.

Freddy yang dulu mengajari dia tentang bagaimana cara menaklukkan hati Rosita, justru akhirnya merusak gadis impiannya itu. Poltak benar-benar sakit hati. Cita-citanya untuk memiliki cinta kandas lagi. Hasratnya untuk mengakhiri status jomblo yang dia sandang sejak masih berada di kampung terbentur tembok. Dan kali ini penghalang utamanya bernama Freddy, yang tak lain dan tak bukan mantan teman sekelas merangkap penasihat spiritualnya dalam urusan cinta!

Cukup lama keduanya larut dalam keheningan. Akhirnya Poltak pamit. Dengan hati yang hancur dia meninggalkan pekarangan rumah Rosita. {} BERSAMBUNG...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun