15
BANGKIT
POLTAK manusia berhati baja. Dia memiliki hati yang tidak mudah patah atau remuk. Padahal bila menuruti emosi, Poltak mestinya sudah remuk redam, stres, depresi, putus asa, nelangsa, dan sebangsanya. Minimal tidak nafsu makan selama seminggu.
Tetapi seorang Poltak, sekalipun telah dikecewakan oleh Serly dengan telak, dia tidak mau terlalu lama berkubang dalam lumpur kepedihan. Bahkan dia berjanji dalam hati akan segera melupakan Serly, dan secepatnya menyusun langkah baru untuk mencari cewek lain.
“Dunia tidak selebar daun kelor. Kolor saja lebih lebar dari daun kelor. Masih ada banyak cewek yang jauh lebih seksi dari Serly,” kata hatinya menghibur diri.
Dia hanya berharap semoga tidak ketemu lagi dengan gadis bahenol itu di kampus, di angkot, di mall, atau di mana saja. “Kalaupun terpaksa ketemu, aku harus ambil sikap pura-pura tidak mengenalnya,” demikian tekad Poltak.
“Tiada maaf bagimu!” cetusnya sambil mengepalkan jari-jari.
Catatan-catatan di buku agenda soal rencana-rencana yang akan dia jalankan untuk Serly disobek-sobek dengan muka bengis.Seluruh catatan, atau hal apa pun yang ada kaitannya dengan Serly, dirobek-robek diremukkan dan dibuang ke tempat sampah.
Tapi ternyata Poltak itu orang yang kreatif dan punya kepedulian sosial yang tinggi juga. Saat berjalan-jalan di sekitar kawasan tempat tinggal pamannya, dia melihat ada banyak tempat-tempat kumuh. Di sana tinggal orang-orang yang hidupnya dari memungut sampah dan barang-barang bekas. Mereka berprofesi sebagai pemulung. Dan ada banyak juga anak-anak di sana.
Sudah sejak lama Poltak memperhatikan kehidupan masyarakat kelas bawah tersebut. Melihat kondisi kehidupan sosial dan ekonomi orang tua mereka, anak-anak itu tentu tidak mendapatkan pendidikan yang baik dan ideal.
Poltak terinspirasi dari sosok Butet Manurung, seorang wanita muda, lulusan universitas terkenal. Tetapi cewek itu rela masuk ke dalam rimba untukmengajari anak-anak suku terasing (suku Kubu) di pedalaman Sumatera, yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Poltak pun ingin mengajar anak-anak pemulung itu meski sekadar untuk bisa membaca dan menulis dan berhitung.
“Daripada suntuk mengingat-ingat muke gile si Serly, mendingan aku mengumpulkan anak-anak itu, lalu mengajari mereka berhitung, membaca dan menulis,” kata Poltak kepada Gomos.
Sepupunya itu hanya manggut-manggut tanda setuju dan salut. Acara belajar itu diadakan setiap Sabtu, dan hari libur kuliah.
Dalam waktu yang tidak lama, Poltak berhasil menghimpun belasan anak-anak pemulung yang mau belajar. Mereka dikumpulkan di pelataran sebuah bangunan kosong yang tidak terawat. Bangunan itu tidak jauh dari lokasi pemukiman para pemulung tersebut. Setelah disapu dan dibersihkan, tempat itu layak dijadikan tempat belajar darurat. Sambil duduk lesehan di lantai, mereka bersiap menerima pelajaran dari Poltak.
Berdasarkan tanya-jawab singkat, beberapa dari mereka ternyata sudah pernah mengikuti kegiatan serupa yang dulu dilakukan oleh mahasiswa yang praktek lapangan. Maka tidak heran bila sudah banyak dari anak-anak itu yang pandai membaca dan menulis. Ada beberapa yang cerdas dan serius, namun juga ada yang kelihatannya cuma iseng atau kurang serius. Tetapi Poltak menganggap mereka sama. Hanya saja, suasana belajarnya ramai dan heboh.
“Sekarang kita belajar bahasa Indonesia,” kata Poltak suatu hari.
“Siap Om....” jawab mereka serempak.
“Saya mau bertanya kepada Ujang. Mana Ujang?”
“Ujang yang mana dulu Om? Yang gendut apa yang kudisan?” celetuk Parno, anak paling tua, paling bandel, dan paling berisik. Usianya berkisar 9 tahun. Tapi sudahbisa sedikit-sedikitmembaca dan menulis. Dia kerap berbuat gaduh. Suka melontarkan komentar-komentar yang ngawur. Misalnya saja, di antara mereka, anak yang bernama Ujang hanya satu, dan memang kebetulan bertubuh gendut dan kudisan.
“Hahahahaha...,” semua tertawa.
“Saya Om,” jawab Ujang sambil tunjuk tangan. Usianya berkisar tujuh tahun. Dia juga sudah lumayan pandai membaca dan menulis. Dia tidak berani memprotes atau marah kepada Parno. Karena di lingkungan anak-anak itu, Parno dianggap sebagai jagoan..
“Membakar, apa kata dasarnya?” tanya Poltak kepada Ujang.
“Bakar, Om!”jawab Ujang cepat.
“Bagus!”
“Sekarang saya mau bertanya kepada Surti. Apa kata dasar ‘makanan’?”
“Makan, Om!” jawab Surti.
“Bagus,” puji Poltak senang. Kelihatannya pelajaran tentang kata dasar yang dia berikan minggu lalu sudah bisa dipahami oleh anak-anak itu dengan baik.
“Menonton?”
“Tonton,” sahut Surti pelan dan agak malu-malu. Memang dia anak pemalu, tetapi terlihat cerdas.
“Good,” puji Poltak sambil mengacungkan dua jempol.
“Sekarang giliran Parno. Apa kata dasar ‘beraksi’?”
“Berak, Om!” jawab Parno cepat dan kencang.
“Hahahaahahahahhahahahah....,” mereka semua tertawa, kecuali Poltak yang cuma bisa senyum kecut sambil garuk-garuk kepala.
Pada pertemuan pada hari Sabtu siang berikutnya. Poltak memberikan pelajaran matematika. Yang dibahas hari ini adalah soal hitungan persen (%). Anak-anak tampak serius menyimak penjelasan Poltak. Hampir tidak ada yang berulah. Maka Poltak menjelaskan dengan penuh semangat dan gairah.
Setelah selesai menjelaskan dan memberi banyak contoh, Poltak mulai menguji satu per satu anak-anak itu. Anak pertama yang dia tanya adalah Urip, lelaki usia tujuh tahun dan pendiam, tapi paling pandai soal hitung-hitungan.
“Urip, misalkan ayah kamu meminjam uang Rp 1.000.000 dari saya. Kami sepakat bahwa uang saya itu akan dikembalikan oleh ayahmu bulan depan, sekalian dengan bunga sebesar 10%. Nah, berapa uang yang akan dibayarkan ayahmu kepada saya berikut bunga 10% itu?” tanya Poltak sambil mendekat ke arah Urip.
Poltak memang sengaja bertanya kepada dia lebih dulu, supaya anak-anak lain nanti lebih mempersiapkan diri untuk menjawab dengan baik pula. Poltak yakin, Urip yang pandai berhitung itu bisa menjawab pertanyaan itu dengan cepat dan benar seperti biasanya. Tapi kali ini Urip diam saja. Dia terlihat murung menunduk sambil mencorat-coret buku tulisnya yang kumal.
“Urip, bagaimana jawabanmu? Berapa rupiah jumlah uang yang akan dikembalikan ayahmu kepada saya jika bunganya 10%?” tanya Poltak lagi.
“Nol rupiah, Om,” jawab Urip kurang bersemangat.
“Berapa?”
“Rp 0,” jawab Urip lagi.
“Wah, berarti kamu tidak mengerti pelajaran yang saya jelaskan tadi,” kata Poltak sedikit kecewa.
“Wah, berarti Om tidak mengerti sifat ayah saya,” balas Urip yang disambut anak-anak dengan tawa riuh.
“Hahahhahaha...”
Poltak pun tidak kuasa menahan senyum. Poltak memang tidak mengenal ayah Urip. Tetapi anak-anak itu tentu sudah paham kalau ayah si Urip adalah seorang pria yang sulit untuk dipercaya. Di lingkungan mereka, nama ayah Urip sudah terkenal sebagai orang yang suka meminjam uang tetapi tidak pernah mengembalikannya.
“Ada-ada saja,” gumam Poltak sambil membubarkan pertemuan. {} BERSAMBUNG...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H