Mohon tunggu...
Hans Panjaitan
Hans Panjaitan Mohon Tunggu... -

Biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Batak: One Stop Wedding Party

17 November 2014   23:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:35 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416214946376085815

[caption id="attachment_354774" align="aligncenter" width="298" caption="Sebuah ilustrasi suasana dalam gedung resepsi adat"][/caption]

ETNIK Batak dikenal luas dengan sistem kekerabatan, budaya dan adatnya yang sangat kuat. Tak bisa dipungkiri, tradisi yang diwariskan oleh leluhur orang-orang Batak banyak yang baik dan bahkan masih relevan dengan masa modern di masa kini. Dan kita pun harus mengakui kalau ada sebagian yang perlu direvisi, terutama untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Upacara adat pernikahan misalnya. Bagi kalangan orang Batak, pernikahan adalah sesuatu yang sangat sakral, mulia dan agung. Bagi kebanyakan orang Batak, rasanya belum sempurna kalau pernikahannya tidak dilakukan dengan upacara adat penuh. Upacara pernikahan Batak secara adat penuh, memang tidak harus dengan pesta besar dan meriah, yang bisa memakan biaya ratusan juta rupiah. Yang penting semua unsur dan tahapannya terpenuhi, suatu pernikahan sudah dianggap memenuhi tuntutan adat.

Jika seorang pria dan wanita sudah sepakat untuk menikah, dan keluarga kedua belah pihak sudah sama-sama OK jika pernikahan akan dilangsungkan dengan adat penuh, maka ada beberapa langkah dan tahapan yang perlu dijalankan. Langkah pertama adalah keluarga pria mengadakan pembicaraan dengan pihak keluarga besar wanita, masalah “sinamot” (mahar). Kalau sudah sepakat ditentukanlah hari dan tanggal pernikahan.

Ada lagi yang perlu ditunaikan oleh keluarga pemuda, yakni “permisi” kepada “tulang”. Tulang (paman) adalah saudara laki-laki kandung dati ibu si pemuda. Dalam tradisi Batak, idealnya seorang pria menikahi putri tulangnya. Namun apabila calon istri si pemuda putri orang lain, maka dia harus “Permisi” kepada tulangnya, mohon maaf dan minta doa restu. Si pemuda, di dampingi kedua orang tua dan sanak saudara mendatangi kediaman tulang sambil membawa makanan yang sudah ditentukan. Sementara, pihak keluarga paman pun akan menyambut dengan makanan yang sudah disediakan pula.

Pada hari “H”, sebelum pemberkatan di gereja, keluarga si pemuda mendatangi rumah mempelai wanita untuk acara “marsibuhabuhai” (pembukaan). Dalam hal ini pengantin pria sekaligus menjemput mempelai wanita untuk sama-sama ke gereja. Di sini, pihak pria membawa makanan yang akan disantap besama para keluarga besar calon mempelai wanita. Acara marsibuhabuhai biasanya singkat, kira-kira setengah jam – satu jam. Dari sini kedua belah pihak berangkat ke gereja. Biasanya di kantor gereja pula dicatatkan pernikahan kedua mempelai di hadapan petugas pemerintah yang didatangkan ke sana. Setelah itu, barulah diadakan acara ibadah gereja, dipimpin pendeta untuk memberkati pernikahan itu. Usai acara gereja, diadakan upacara adat (resepsi) yang biasanya dimulai pukul 12.00 sampai sore. Kalau undangan banyak, acara bisa sampai pukul 19.00 atau 20.00.

Rasanya enak apabila resepsi diadakan di kompleks gereja yang memiliki ruang serba guna yang bisa digunakan untuk acara seperti ini. Namun sangat melelahkan bila misalnya gereja di Depok, namun resepsi diadakan di sebuah gedung yang berlokasi Jakarta Pusat, misalnya. Risiko telat memulai acara bisa terjadi, apabila lalulintas macet total. Acara resepsi (adat) yang mestintya mulai pukul 12.00 bisa molor hingga pukul 13.00 atau lebih. Dan ini akan membuat acara berlangsung hingga malam. Dalam acara adat ini, yang paling banyak memakan waktu adalah pemberian “ulos” kepada kedua mempelai. Prosesi penyampaian ulos ke pengantin ini memang menghadirkan rasa girang, semangat, dan sukacita karena diiringi musik riang dan banyak orang yang berjoget ria. Tetapi kalau kelamaan akan membuat lelah dan bosan juga.

Bukan rahasia kalau sudah mulai ada banyak orang yang mengeluh dengan acara adat yang lama dan “bertele-tele” ini. Apalagi bila sejak pagi calon pengantin dan keluarga menempuh jarak yang cukup panjang menuju rumah mempelai wanita untuk acara “marsibuhabuhai”. Akan menambah waktu dan energi lagi apabila rumah mempelai wanita pun jauh dari gereja. Kemudian tempat resepsi dari gereja pun jauh.

Misalnya, yang seperti ini sudah jamak terjadi: Pengantin wanita berdomisili di Jakarta Utara. Tunangannya tinggal di Depok. Pukul 07.00 pagi, rombongan pengantin pria tiba di rumah mempelai wanita untuk acara “marsibuhabuhai”. Usai acara, rombongan kedua belah pihak meluncur ke sebuah gereja di Depok, untuk acara pemberkatan. Soalnya pengantin pria dan keluarga menjadi anggota di gereja itu, dan bagi mereka ingin pemberkatan di sana. Usai acara gereja, rombongan berkonvoi ke sebuah gedung pertemuan di Jakarta Timur untuk resepsi/adat. Sementara di gedung resepsi sudah banyak undangan yang hadir menanti kedatangan rombongan kedua mempelai. Sungguh rumit dan melelahkan sebenarnya. Namun sebagian besar tidak mempersoalkannya, meski sudah ada yang mulai mengeluhkannya.

Alangkah bijaknya bila ke depan orang Batak yang hendak menikah secara adat penuh mulai memikirkan konsep “one stop wedding party” (mencontoh konsep one stop shopping). Artinya, biarlah acara “marsibuhabuhai”, pemberkatan pernikahan, dan resepsi (adat) dilanngsungkan di satu tempat/gedung saja. Jadi, pengelola gedung menyediakan semacam rumah untuk keluarga mempelai wanita menyambut rombongan keluarga pria, sebuah ruang khusus ibadah pemberkatan nikah, dan tentu saja ruangan yang bisa menampung ratusan atau ribuan hadirin. Selain menghemat waktu, tenaga, juga tidak melelahkan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun