PARA penumpang bis kota di Kota Jakarta tentu sudah terbiasa dengan kehadiran satu atau beberapa orang anak muda berpenampilan dekil. Mereka bukan pengamen yang bernyanyi dengan atau tanpa alat musik, namun “berceramah” atau berorasi. Dari nada suara dan gaya tubuh, mereka sengaja ingin menciptakan rasa takut sehingga penumpang memberikan uang kepada mereka. Dan memang ada saja penumpang yang “termakan” oleh intimidasi mereka dan akhirnya memberikan uang Rp 500, Rp 1.000, Rp 2.000, atau bahkan Rp 5.000,-
Ada kalanya mereka masuk ke dalam bus sambil berpantun: “Bang Markum kecebur di empang, jangan kaget kami masuk dari belakang”. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa mereka tidak bermaksud jahat atau berbuat onar. Bukan pula hendak mamaksa. “Kedatangan kami bukanlah untuk berbuat onar atau jahat. Kami hanya ingin sedikit rejeki yang halal dari Anda untuk membeli nasi. Mungkin di balik kerapian Anda masih ada jiwa-jiwa sosial untuk membantu anak jalalan. Apalah arti uang seribu atau dua ribu bagi Anda, tidak akan membuat Anda jatuh miskin...”
Kalau saja mereka meminta dengan kata-kata yang baik dan santun, mungkin banyak orang yang bersimpati. Tetapi yang terjadi, tanpa risih mereka mengucapkan kata-kata yang jelas-jelas mengancam: “Jangan angkuh dan sombong bapak ibu om dan tante, sebab kesombongan dan keangkuhan bisa menjadi penyebab malapetaka bagi Anda. Bukannya kami tidak berani menarik-narik tas atau dompet Anda... Lebih afdol tolong-menolong daripada todong-menodong”.
Bila mereka lebih dari satu orang, maka setiap ucapan rekannya ditimpali dengan kata: “Betul!”
Entah sejak kapan aksi-aksi semacam ini mulai marak di bus-bus Jakarta. Kemungkinan besar fenomena ini muncul bersamaan dengan maraknya pengamen bus kota, beberapa tahun silam. Dan bila dikategorikan, mereka itu tergolong pemeras, sebab meminta disertai ancaman dan paksaan. Sepertinya mereka bisa membedakan penumpang yang bisa diintimidasi atau tidak. Tidak jarang mereka memelototi dan mengata-ngatai atau menyumpahi penumpang yang tidak memberikan uang, hingga orang tersebut akhirnya memberikan uang recehan. Sementara beberapa penumpang yang hanya mengangguk-angguk atau angkat tangan bilang “maaf”, hanya dilewati saja oleh mereka.
Aksi mereka tidak hanya mengganggu kenyamanan dan ketenangan, namun menimbulkan ketakutan bagi beberapa orang penumpang. Apalagi bukan hanya sekali dua kali kawanan sejenis datang. Begitu kelompok satu turun, di tempat lain masuk lagi naik kelompok lain. Pokoknya asal kondisi bus sedang lowong, mereka akan masuk. Bahkan ada yang terkesan tidak peduli, dan tetap memaksakan diri masuk sekalipun bus sudah sesak. Kita heran juga kok hal seperti ini tidak menarik perhatian aparat keamanan?
Ini menjadi PR serius aparat Kota Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H